REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampel) Nomor 2, 3 dan 5 Tahun 2018 mengenai penjaminan pelayanan katarak, persalinan dengan bayi sehat dan rehabilitasi medik mendulang respons beragam pihak.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia menilai, ketiga Perdirjampel BPJS Kesehatan ini dapat menurunkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat. "Sebagai organisasi profesi kami menyadari adanya defisit pembiayaan JKN, Namun hendaknya hal tersebut tidak mengorbankan keselamatan pasien, mutu layanan kesehatan dan kepentingan masyarakat," ungkap Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Prof dr Ilham Oetomo Marsis SpOG di kantor PB IDI, Kamis (2/8).
PB IDI menilai implikasi penerapan Perdirjampel BPJS Kesehatan Nomor 2, 3 dan 5 Tahun 2018 ini juga merugikan dokter. Di sisi pasien, implikasi dari penerapan Perdirjampel Nomor 3 Tahun 2018 bertentangan dengan semangat menurunkan angka kesakitan kecacatan dan kematian bayi.
"Kita sepakat, pada 2030 seluruh negara di dunia ada target SDG (Sustainable Development Goals), poin nomor 32, target neonatal mortality, angka kematian bayi, 12 per 1.000 kelahiran. Saat ini kita masih 22, hampir 23, per 1.000 kelahiran," ujar Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia Dr dr Aman Bhakti Pulungan SpA(K) FAAP.
PB IDI juga menilai penerapan Perdirjampel BPJS Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 terkait ketentuan visus 6/18 dan kuota operasi katarak dapat berakibat pada angka kebutaan yang meningkat. Padahal, Indonesia saat ini telah menjadi salah satu negara dengan angka kebutaan tertinggi di dunia dan Asia.
Pembatasan layanan rehabilitasi medik maksimal dua kali per minggu dalam Perdijampel nomor 5 Tahun 2018 dinilai dapat merugikan pasien. Ini karena tidak sesuai dengan standar pelayanan rehabilitasi medik. Peraturan ini dapat berakibat pada hasil terapi yang tidak tercapai secara optimal dan kondisi disabilitas sulit teratasi.
Pada dokter, impikasi penerapan Perdirjampel BPJS Kesehatan Nomor 2, 3 dan 5 Tahun 2018 dapat menyebabkan tiga kerugian. Salah satunya, dokter berpotensi melanggar Sumpah dan Kodeki karena melakukan praktek kedokteran tidak sesuai standar profesi.
Kerugian lainnya adalah kewenangan dokter dalam melakukan tindakan medis diintervensi dan direduksi oleh BPJS Kesehatan. Peraturan ini juga dinilai dapat meningkatkan konflik antara dokter dengan pasien serta dokter dengan fasilitas pelayan kesehatan (fasyankes).
Sementara itu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengklaim terbitnya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) yang mengatur penjaminan pelayanan operasi katarak, bayi baru lahir, dan rehabilitasi medik, merupakan langkah untuk efisiensi dan memastikan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) memperoleh manfaat pelayanan kesehatan bermutu.
Baca juga, BPJS Atur Pasien Rehab Medik Hanya Dua Kali per Pekan.
Menurut Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohammad Arief, keputusan ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari Rapat Tingkat Menteri (RTM) awal 2018 yang membahas tentang sustainibilitas Program JKN-KIS. BPJS Kesehatan harus fokus pada mutu layanan dan efektivitas pembiayaan.
“Faktanya, BPJS Kesehatan tetap menjamin biaya persalinan, operasi katarak, dan rehabilitasi medik. Hanya saja, kami ingin menyempurnakan sistem yang sudah ada agar pelayanan kesehatan bisa berjalan lebih efektif dan efisien, serta memperhatikan kemampuan finansial BPJS Kesehatan,” kata Budi dalam acara Ngopi Bareng JKN, di Jakarta Timur, Kamis (2/8).