REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklarifikasi soal dokumen-dokumen yang disita penyidik KPK kepada Istri Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (IY), Darwati A Gani hari ini. Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah mengatakan dokumen-dokumen terkait aliran dana tersebut disita KPK pascapenggeledahan kediaman Irwandi beberapa waktu lalu.
"Terhadap saksi Darwati diklarifikasi tentang pengetahuan dia terkait dokumen yang ditemukan di rumah pribadi IY," kata Febri di Gedung KPK Jakarta, Selasa (31/7).
Usai diperiksa, Darwati memilih bungkam dan langsung bergegas meninggalkan kantor KPK. Adapun pada hari ini Darwati diperiksa saksi untuk melengkapi berkas tersangka Teuku Syaiful Bahri, orang kepercayaan Irwandi.
Selain Darwati KPK juga memeriksa Dr. Taqwa Asisten 2 Provinsi Aceh. Ia diperiksa untuk tersangka Irwandi. Febri mengungkapkan, kepafa Dr. Taqwa, penyidik mendalami pengetahuan dan perannya dalam penganggaran dan pengadaan proyek DOK Aceh.
"Saksi diperiksa terkait tugasnya sebagai wakil ketua penyusunan DOK Aceh dan pengawasan pengadaan," terang Febri. Sementara dua saksi lainnya yang diagendakan yakni Apriansyah dan Ade Kurniawan mangkir dari panggilan penyidik KPK.
KPK sebelumnya menemukan indikasi bancakan yang dilakukan oleh Irwandi dan oknum pejabat di Aceh, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terhadap DOK Aceh tahun anggaran 2018. Lembaga antirasuah itu juga telah menahan Gubernur Aceh non aktif Irwandi Yusuf dan ajudannya Hendri Yuzal, Bupati Bener Meriah non aktif Ahmadi serta seorang pengusaha T Saiful Bahri.
Dari temuan awal, KPK menduga setiap anggaran untuk proyek yang dibiaya dari DOK Aceh dipotong 10 persen, 8 persen untuk pejabat di tingkat provinsi, dan 2 persen di tingkat kabupaten/kota.
Pada tahun ini, Aceh mendapat alokasi dana otsus sebesar Rp 8,03 triliun. Pemberian dana otsus ini tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018.
KPK menjerat Irwandi, Hendri dan Syaiful sebagai penerima suap dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan, Ahmadi sebagai pemberi dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak pidana korupsi.