REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand) Padang Edi Indrizal menilai keputusan Partai Demokrat untuk berkoalisi dengan Partai Gerindra merupakan pilihan terakhir yang diambil oleh ketua umum partai tersebut Susilo Bambang Yudhoyono. Pilihan terakhir lantaran upaya berlabuh ke koalisi pejawat, Joko Widodo, tidak membuahkan hasil.
"Setelah upaya gagal akibat besarnya kendala dan tantangan yang dihadapi maka Demokrat harus berusaha berlabuh ke koalisi Prabowo sebagai pilihan akhir," kata Edi di Padang, Selasa (31/7).
Akan tetapi, ia melihat upaya untuk mendapatkan pengaruh dan posisi yang kuat juga tidak gampang karena ada kekuatan non-parpol alumni 212. "Bagaimanapun juga tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali Demokrat harus bergabung dan ini bukan lagi soal kesesuaian," ujarnya.
Ia menilai keputusan ini diambil agar Demokrat tidak ketinggalan kereta dan semakin sulit di 2024 sebagai salah satu pertimbangan. Terkait SBY mengajukan putra sulungnya Agus Harimurti Yudhoyono untuk cawapres, ia melihat hal ini penting bagi Demokrat.
Namun, ia menambahkan, bagi calon mitra partai politik, bakal sulit untuk memenuhinya. "Misalnya bagi Gerindra juga jadi tidak mudah untuk bisa mendapatkan persetujuan mitra terutama PKS, apalagi selama ini hubungan Gerindra dan PKS sudah terjalin lebih panjang dan dalam," ujarnya.
Ia berpendapat capres cawapres tetap saja belum final kecuali jika tidak memerlukan koalisi lagi dengan PKS dan PAN. "Jika dipaksakan juga maka Prabowo dan Gerindra merugi," katanya.
Ia juga menganalisis jika latar kepentingan 2024 yang lebih besar bagi Demokrat maka ikatan koalisi ini diperkirakan rapuh dan mudah lapuk."Namun tampaknya SBY dan Demokrat harus realistis dengan menurunkan tuntutan tawaran dan tidak memaksakan AHY sebagai cawapres," katanya.