Senin 30 Jul 2018 14:44 WIB

Perindo Minta MK Prioritaskan Pengujian UU Pemilu

Pengujian ini sudah dapat diputus oleh Mahkamah sebelum 10 Agustus 2018.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (tengah) bersama anggota Majelis Hakim Suhartoyo (kanan) dan Wahiduddin Adams (kiri) memimpin jalannya sidang pengujian UU di ruang sidang gedung MK, Jakarta, Senin (30/7).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (tengah) bersama anggota Majelis Hakim Suhartoyo (kanan) dan Wahiduddin Adams (kiri) memimpin jalannya sidang pengujian UU di ruang sidang gedung MK, Jakarta, Senin (30/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Persatuan Indonesia (Perindo) memohon kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar memproritaskan permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu). Pengujian itu terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden.

"Kami tidak memaksa, kami hanya meminta prioritas saja mengingat waktunya sudah cukup mepet," kata kuasa hukum Perindo, Ricky Kamargono, usai sidang perbaikan permohonan uji UU Pemilu di Gedung MK Jakarta, Senin (30/7).

Ricky berharap perkara pengujian ini sudah dapat diputus oleh Mahkamah sebelum 10 Agustus 2018. "Yang kami mintakan ini kan sesuai dengan konstitusi juga, sehingga harapan kami ini antara tanggal 4 Agustus hingga 10 Agustus 2018 sudah muncul keputusan Mahkamah," kata Ricky.

Ricky menjelaskan pemohon pada dasarnya menyerahkan seluruh proses pengujian ini kepada MK. Perindo, kata Ricky, akan berlapang dada bila memang pengujian ini nantinya ditolak oleh Mahkamah.

"Ya kalau ditolak, pak Jokowi masih bisa memilih yang lain, kami kan hanya menghormati putusan MK saja, kami serahkan sepenuhnya karena ini adalah kewenangan majelis," kata Ricky.

Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 60/PUU-XVI/2018 ini menguji Pasal 169 huruf n UU Pemilu terhadap Pasal 7 UUD 1945 terkait dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden terutama frasa "belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari tahun".

Baca Juga:

Sebelumnya dalam sidang pendahuluan, pemohon mendalilkan bahwa proses pengajuan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai satu pasangan terkendala dengan adanya frasa a quo. Sebab, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah pernah menjabat sebagai wakil presiden pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2009.

Pemohon berpendapat frasa tersebut menjadi tidak relevan bila ditafsirkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dibatasi oleh masa jabatan presiden dan wakil presiden untuk menjabat dalam jabatan yang selama dua kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.

Dalam dalilnya, pemohon menyebutkan seharusnya instrumen hukum perundang-undangan tidak boleh membatasi terlebih mengamputasi hak seseorang untuk dapat menjadi presiden dan wakil presiden. Termasuk jika orang itu telah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden dua kali masa jabatan yang sama sepanjang tidak berturut-turut.

Pemohon berpendapat Pasal 169 huruf n UU Pemilu sama sekali tidak memberikan batasan. Bahkan, mempersempit persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden dengan mencantumkan frasa tidak berturut-turut.

Berdasarkan uraian tersebut, pemohon menilai penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu seharusnya dimaknai belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan berturut-turut walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 tahun. Pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa "tidak berturut-turut" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Baca Juga

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement