REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah hal dinilai berpotensi menjadi masalah yang membayangi penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Aliansi Pemilih Berdaulat merinci, setidaknya terdapat tujuh perkara yang dapat mengancam kelancaran penyelenggaraan pemilihan presiden dan anggota legislatif serentak, tahun depan.
Aliansi menyebutkan, permasalahan itu meliputi daftar pemilih, isu SARA, politik uang, kerumitan saat penggunaan hak pilih di TPS, ancaman manipulasi hasil suara, jual beli suara saat rekapitulasi hasil, dan proses menjadi kursi dan wakil rakyat yang sesungguhnya terpilih.
Peneliti Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan mengatakan, daftar pemilih menjadi isu krusial karena persoalan E-KTP belum sepenuhnya tuntas. "Isu ini mesti diantisipasi sejak awal selain karena selaiu muncul dalam pemilu juga persoalan E-KTP juga pemutakhirannya," ujar dia di Tebet, Jakarta Selatan, Ahad (29/7).
Alwan menerangkan selisih data pemilih sementara (DPS) yang tinggi dengan data pemilih baru yang telah mengalami perbaikan juga tinggi. "Maka, kualitas pendataan pemilih perlu diperhatikan," ujar dia.
Peneliti Sindikasi Pemilu Demokratis (SPD) Erik Kurniawan menuturkan, masa kampanye justru akan lebih didominasi personifikasi calon presiden dan wakil dibandingkan visi dan misi program yang menjadi hak bagi rakyat. Dalam Pemilu Serentak 2019 ini, personifikasi terhadap kandidat presiden dan wakilnya akan semakin kuat.
Hal tersebut, ia mengatakan, akibat keserentakan penyelenggaraan pemilihan presiden dan anggota legislatif. Ia juga menyoroti kehadiran artis pada kontestasi legislatif.
"Adanya artis ternyata tidak menarik jumlah pemilih, mereka juga tidak menjual visi dan misinya," ujar dia.
Almas Syafrina dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ancaman suara rakyat juga datang dari potensinya maraknya politik uang. Politik uang akan mengganggu kemurnian suara rakyat.
Selain itu, politik uang menimbulkan efek tercederainya integritas pemilu. "Meskipun, belum ada jaminan bahwa calon dengan politik uang dipilih, tapi ini bisa mencederai indepedensi," ujar dia.
Delia dari Pusat Studi Politik Universitas Indonesia (Puskapol-Ul) meniiai Isu SARA sebagai persoalan serius. Jika ruang publik tidak diisi dengan kampanye program dan hal positif, maka kampanye SARA akan menjadi ancaman serius bagi kebebasan pemilih untuk menentukan suaranya secara rasional dan bertanggungjawab.
Sedangkan tahapan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, Fadli Ramadhanil dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai adanya kerumitan dalam teknis pemilihan. Persoalan undangan memilih (C6), suara tidak sah semakin tinggi, dan penghitungan suara akan semakin rumit karena pemilihan lima kotak.
Heroik Pratama dari Perludem lebih menitikberatkan pada beban petugas penyelenggara yang akan semakin berat pada saat pemungutan dan penghitungan. "Jika petugas tidak disiapkan secara tepat, maka akan menjadi ancaman tersendiri bagi suara pemilih," kata dia.
Kerawanan krusial juga disampaikan Adelline Syahda dari Konstitusi dan Demokrasi Indisiatif (KODE Inisiatif) terkait rekapitulasi hasil pemilu. Dengan pemilu serentak, perhatian publik lebih pada suara calon presiden clan wakil presiden sedangkan hasil pemilu legislatif akan banyak terabaikan. "Ditambah lagi potensi jual beli suara dan kontlik antar caleg dalam satu partai akan semakin menguat," ujarnya.
Hanafi dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) menilai hal paling serius terkait konversi suara menjadi kursi. "Konflik antarkandidat dalam satu partai akan mempengaruhi siapa anggota legislatif pilihan rakyat yang akan menduduki parlemen nantinya," ujar dia.