Rabu 25 Jul 2018 14:19 WIB

Dering Alarm Pengganti Azan di Perbatasan Timor Leste

Tidak ada umat Islam di sana yang memaksa untuk membangun masjid atau mushala.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Muhammad Hafil
Suasana menjelang Maghrib di pantai dekat pos perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Foto: Rahma Sulistya/Republika
Suasana menjelang Maghrib di pantai dekat pos perbatasan Indonesia-Timor Leste.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rahma Sulistya/Wartawan Republika.co.id

Kala adzan berkumandang, maka bergegaslah seluruh umat muslim untuk segera melaksanakan shalat fardhu. Namun, apa yang terjadi jika azan tak terdengar? Muslim di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, rupanya mengandalkan alarm untuk mengetahui waktu shalat.

Salah satunya adalah anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), Supendik, asli Mojokerto, Jawa Timur, yang sedang bertugas menjaga perbatasan. Ia hanya mengandalkan alarm handphone untuk mengetahui waktu shalat, karena suara azan memang hampir tidak terdengar di perbatasan.

"Kalau azan paling kita dengar alarm handphone saja, baru shalat," ujar Supendik saat ditemui Republika.co.id di Perbatasan Indonesia dan Timor Leste, Ahad (22/7), ketika senja hampir menenggalamkan matahari.

Adzan menjadi hal yang tidak mungkin terdengar di perbatasan karena memang masyarakatnya mayoritas beragama non muslim. Ditambah lagi, masyarakat setempat memang melarang pembangunan permanen masjid ataupun mushola di wilayah perbatasan.

Republika.co.id memang sempat mencoba menatap ke setiap sudut, mencari tanda keberadaan mushola namun memang nihil. Dan memang selain di pusat Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), Republika sudah mencoba mencari kumandang azan tetapi juga nihil, memang masyarakatnya mayoritas non muslim sehingga lebih banyak terlihat gereja-gereja.

photo
Pos perbatasan milik Indonesia di Pos Perbatasan Indonesia Timor Leste, Atambua, Kabupaten Belu, NTT.

Mencapai pos perbatasan dari pusat Atambua, memakan waktu sekitar satu jam dengan kecepatan mobil stabil 80 kilometer per jam. Pengendara mobil juga harus berhati-hati, karena jalanan lingkar luar Atambua ini kebanyakan berkelok-kelok dan naik turun, lantaran memang jalan berada di bibir perbukitan.

Begitu pun untuk menuju masjid terdekat, jalanannya juga berkelok dan naik turun sehingga umat muslim di pos perbatasan memilih untuk shalat dalam ruangan yang mereka buat, dibanding harus shalat di masjid. "Kalau masjid di sini hanya satu, daerah Atapupu sana, kalau perjalanan kurang lebih 45 menit. Mushala kita buat sendiri di pos ini, kita-kita sendiri saja," ujar Supendik.

Lagipula, mereka juga tidak diizinkan meninggalkan pos jaga mereka, kecuali pada hari Jumat saat mereka hendak melaksanakan shalat Jumat. Mereka bersama delapan anggota TNI AD lainnya yang beragama muslim, akan melakukan konvoi menuju satu-satunya masjid di Atapupu.

Ia menyebut memang anggota TNI AD yang beragama muslim ada delapan orang dari 14 orang yang bertugas di sana, yang beragama muslim ada juga yang berasal dari Lombok, NTB. "Kalau kita naik kendaraan itu pas hanya shalat Jumat saja, kita pakai mobil danki (komandan kompi) untuk konvoi ke masjid. Selain itu ya kita tak bisa, karena sudah jauh," ujar lelaki berdarah Jawa itu tapi logat bicaranya sudah persis dengan masyarakat Atambua.

Tidak dibangunnya masjid ataupun mushala di sekitar perbatasan, memang dilarang oleh masyarakat setempat, lebih tepatnya tidak boleh membangun secara permanen. Masyarakat setempat hanya tidak boleh mendirikan bangunannya saja, tetapi boleh mendirikan shalat.

"Di sini mau dibangun mushala masyarakatnya protes di sini, ibaratnya kalau di wilayah mayoritas muslim ada yang larang bikin gereja, di sini mayoritas non muslim ya dilarang bangun masjid. Tidak boleh bangun mushola permanen," jelas Supendik.

Meski dilarang, tidak ada masyarakat muslim yang memaksa untuk membangun mushola atau masjid, apalagi sampai bentrok. Karena mereka sangat menjunjung tinggi toleransi, NTT adalah toleransi beragama paling baik sepanjang Supendik pernah bertugas di wilayah Indonesia.

"Tidak pernah ada (masyarakat memaksa bangun masjid atau pembongkaran paksa). Di sini toleransinya sangat bagus. Toleransi umat beragama paling bagus hanya di NTT saja. Mungkin karena turun temurun ada pernikahan, ada nasrani masuk muslim," jelas dia.

Selain di Atapupu, Supendik mengatakan, ada juga masjid ke arah Dili, ibu kota negara Timor Leste, namun harus ditempuh dalam perjalanan 2-3 jam. Sementara di pusat kota Dili, juga ada  Masjid Agung yang tentunya suara adzan berkumandang di sana.

Salah seorang kawan Supendik yang pernah bertugas di sana, pernah melaksanakan shalat ied di masjid agung tersebut bersama mantan Perdana Menteri Timor Leste, Mari Alkatiri, namun ia lupa kapan tahunnya. Sebagai anggota yang hanya bertugas setiap sembulan lalu balik lagi ke Kupang, NTT, ia tidak berani menyampaikan aspirasi untuk pembangunan masjid atau mushola.

Menurut dia, yang berhak adalah masyarakat setempat yang beragama muslim yang memang menginginkan adanya pembangunan masjid. "Kalau itu wewenang pejabat sini (untuk meminta pembangunan masjid), kalau kita hanya mengamankan, sembilan bulan sudah balik. Mungkin yang bisa adalah kepala desa sini, atau muslim di sini, yang ajukan ke pemerintah," kata Supendik.

Republika.co.id  akhirnya mencoba menyusuri jalan menuju sebuah masjid yang ada di Atapupu, Kabupaten Belu, NTT. Dan benar saja, ada satu mushala (karena ukurannya sebesar mushala) yang harus ditempuh dengan waktu 30 menit dengan kecepatan mobil 80 kilometer per jam.

Selama melintasi jalan lingkar luar Atambua, memang itu adalah masjid pertama yang terlihat oleh mata, selain sebuah masjid besar di tengah Kabupaten Belu. Jadi, baru satu masjid besar dan satu mushala yang berhasil terlihat mata saat menyusuri Kabupaten Belu.

Selain kisah masjid di perbatasan, ada satu kisah menarik tentang pembangunan pos Indonesia di perbatasan itu, dari salah seorang warga bernama Emilio. Ia menyebut betapa sedihnya Presiden Joko Widodo hingga menitikkan air mata, ketika melihat kondisi pos tersebut.

"Pak Jokowi menangis ketika melihat pos perbatasan kami saat itu, dan membandingkan dengan pos Timor Leste. Indonesia sudah merdeka lama, tapi kalah posnya dengan Timor Leste yang baru merdeka. Makanya orang Timur itu hormat dengan Pak Jokowi," jelas dia.

Presiden Joko Widodo memang memfokuskan pembangunannya juga pada wilayah Timur, bahkan Emilio berani menyatakan bahwa Presiden Jokowi adalah presiden pertama yang peduli hingga membangun wilayah Timur.

"Indonesia memang merdeka pada 1945, tapi kami orang Timur, baru merdeka setelah Pak Jokowi jadi presiden," jelas Emilio tegas.

Berdasarkan pantauan, kondisi pos perbatasan Indonesia saat ini, memang sangat megah bahkan mengalahkan megahnya pos Timor Leste, jalan menuju pos juga sudah di aspal cantik. Pos dibangun dengan kaca-kaca serta gate otomatis, dan di gerbang perbatasan bertuliskan 'Indonesia'.

Kini masyarakat Kabupaten Belu bisa berbangga dengan pos mereka, dibanding dulu yang dikatakan Emilio, sangat jauh dari kata layak.

photo
Suasana di pos perbatasan Indonesia-Timor Leste.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement