REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Jenderal Polisi Syafruddin menjelaskan mekanisme perpanjangan operasi Tinombala. Menurutnya, ada sejumlah penyesuaian yang dilakukan dalam perpanjangan ini.
"Memang itu harus diselesaikan menyelesaikan saja itu perpanjangan. tapi Jumlah pasukan tidak sebesar saat awal," kata Syafruddin di Sekretariat Chef de Mission Asian Games, Jakarta, Jumat (20/7).
Dalam perpanjangan operasi ini, menurut Syafruddin personel yang dihunakan adalah personel kepolisian di wilayah kedaerahan. Sehingga, bukan merupakan personel khusus yang dikirim dari pusat. "Itu hanya pakai personel di wilayah saja tali operasinya tetap," ujarnya.
Meski dengan personel kepolisian dari daerah, namun anggaran pusat tetap terpengaruh. Karena, jelas Syafruddin, anggaran yang dipakai untuk operasi adalah anggaran pusat.
"Kalau operasi anggaran rutin itu tidak bisa diharapkan perlu ada anggaran operasional jadi itu istilah saja bukan penambahan pasukan besar peralatan besar bukan tapi anggaran tetap anggaran dari pusat ke kewilayahan," kata Syafruddin menjelaskan.
Operasi Tinombala merupakan operasi gabungan Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) memburu teroris di wilayah Indonesia Timur. Perpanjangan ini lantaran sejumlah teroris masih belum tertangkap. Perpanjangan dilakukan selama tiga bulan.
Santoso sendiri telah tewas setelah baku tembak dengan satuan tugas Tinombala pada 18 Juli 2016. Setelah kematian Santoso, sejumlah anak buahnya berturut-turut turun gunung. Kekuatan mereka pun diduga semakin lemah. Ada yang menyerahkan diri, ada yang ditangkap karena kelelahan atau tewas.
Adapun nama teroris yang tersisa adalah Ali Muhammad alias Ali Kalora alias Ali Ambon, Muhammad Faisal alias Namnung alias Kobar, Qatar alias Farel, Nae alias Galuh, Basir alias Romzi, Abu Alim, dan Kholid. Sebelumnya, operasi Tinombala sudah mengalami perpanjangan selama 100 hari pada April 2018. Dengan perpanjangan ini, Operasi Tinombala akan berjalan hingga September 2018.