Kamis 19 Jul 2018 21:24 WIB

Boediono Sebut Terdakwa BLBI Usul Pengurangan Kewajiban BDNI

Syafruddin merupakan terdakwa pertama dari kasus BLBI yang disidik KPK.

Rep: Dian Fath Risalah, Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Mantan Wakil Presiden Boediono memberikan keterangan saat menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Mantan Wakil Presiden Boediono memberikan keterangan saat menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Keuangan, Boediono bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (19/7). Boediono bersaksi untuk terdakwa korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).

Dalam persidangan, Boediono, mengakui, bahwa Syafruddin pernah mengusulkan agar kewajiban Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) sebesar Rp 2,8 triliun dilakukan penghapusbukuan (write off). Kewajiban Rp 2,8 triliun itu terdapat pada pinjaman petambak udang kepada BDNI. Sehingga, kewajiban yang tersisa hanya Rp 1,1 triliun.

Menurut Boediono, usulan penghapusbukuan itu disampaikan Syafruddin dalam rapat terbatas di Istana Negara, 11 Februari 2004. Rapat dihadiri Presiden Megawati Soekarnoputri dan menteri-menteri.

"Intinya penghilangan atau pengurangan utang sebelumnya," ujar Boediono.

Saat itu, kata Boediono, tidak pernah ada keputusan kabinet atas usulan penghapusan. Namun, terdakwa justru melaporkan pada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)  seolah-olah da keputusan kabinet yang menyetujui penghapusan tersebut.

"Bahwa sampai akhir sidang kabinet, tidak ada kesimpulan yang dibacakan. Jadi sampai selesai (tidak ada keputusan)," kata Boediono.

Selain itu, menurut Boediono, Syafruddin tidak pernah menjelaskan soal landasan hukum dalam usulannya tersebut. Seingatnya, Syafruddin memberikan penjelasan yang memberikan kesan bahwa tidak ada masalah misrepresentasi dalam utang BDNI.

"Kesan kami, dianggap tidak ada masalah, misrepresentasi itu kami tidak mengetahui," kata Boediono.

Selain Boediono, JPU KPK juga menghadirkan saksi Todung Mulya Lubis yang merupakan mantan anggota tim bantuan hukum KKSK. Dalam persidangan, ia menyampaikan dalam pendapat hukumnya bahwa obligor Sjamsul Nursalim telah melakukan missrepresentasi karena tidak mengungkap kondisi aset piutang petani tambak Dipasena yang diserahkan pada BPPN berada dalam kondisi macet.

Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.

Syafruddin saat membacakan eksepsinya di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/5), menyatakan, audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpang dari ketentuan yang ada.

“Laporan Audit Investigatif BPK 2017 tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK Nomor 1 tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26,” ujar Syafruddin dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jakarta Pusat, Senin (21/5).

Dalam peraturan tersebut dinyatakan, suatu laporan audit harus memiliki pihak yang diperiksa atau yang bertanggung jawab dan harus menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan dari pihak yang diperiksa. Laporan Audit Investigatif BPK 2017 itu, menurut dia, tidak ada satu pun pihak yang diperiksa.

“Ditambah lagi data yang digunakan bukan data primer, melainkan data sekunder berupa bukti-bukti yang disodorkan oleh pihak penyidik KPK,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement