REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia (ORI) memberikan beberapa laporan dan kritik penerapan sistem zonasi sekolah dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2018, mulai dari murid tak mendapatkan sekolah, pemerataan fasilitas pendididikan hingga penerapan sistem secara mendadak. Karena itu, Ombudsman meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus membenahi sistem zonasi.
Anggota Komisioner Ombudsman Ahmad Su'adi mengaku, pihaknya mendapat laporan sekitar 150 siswa lulusan sekolah menengah pertama (SMP) di Kota Bandung, Jawa Barat, belum mendapatkan sekolah. Anak-anak ini, kata dia, tidak dapat ditampung di SMA negeri, swasta bahkan agama.
"Hal-hal kasus seperti ini perlu segera dicarikan jalan keluar," katanya saat ditemui usai Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (Dismed FMB’9) dengan tema 'Zonasi Sekolah untuk Pemerataan' di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta Pusat, Rabu (18/7).
Tak hanya itu, ia juga menyoroti fasilitas pendidikan di sekolah-sekolah Tanah Air yang belum merata seperti perpustakaan hingga laboratorium. Menurutnya, pembangunan fasilitas pendidikan sejak zaman kemerdekaan yang sudah terpusat.
"Padahal, sistem zonasi tidak hanya PPDB melainkan juga masalah pemerataan guru, pembangunan gedung, fasilitas pendidikannya," ujarnya.
Baca juga, Kemendikbud: Sistem Zonasi PPDB Efektif Walaupun Ada Catatan
Persoalan sistem zonasi, masih ditambah mental masyarakat yang menganggap sekolah-sekolah tertentu favorit. Menurutnya, hal yang paling sulit dalam penerapan sistem ini adalah bagaimana bisa mengubah mental masyarakat untuk bisa menerima sistem yang dijalankan pemerintah melalui Kemendikbud tersebut. Karena itu, kata dia, Ombudsman meminta pemerintah membenahi sistem zonasi secara keseluruhan jika ingin sistem ini berhasil. Selain itu, kata dia, persoalan kesadaran dan mentalitas masyarakat yang harus terus dibangun.
"Karena, itu yang selama ini menjadi titik kelemahannya," ujarnya.
Ombudsman juga memberikan beberapa masukan, di antaranya aturan-aturan baru ini seharusnya bisa diterbitkan lebih awal. Sehingga, kata dia, sistem ini tidak membuat banyak pihak kelabakan karena harus sesegara mungkin menerapkan peraturannya. Kemudian terkait persoalan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sebagai syarat sistem zonasi, pihaknya meminta persoalan ini juga harus koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Tak hanya itu, kata dia, pemerintah daerah juga diminta harus segera siap-siap terkait penerapan zonasi sekolah. Rekomendasi lainnya, kata Sua’adi, untuk daerah-daerah yang blankspot harus diberi nilai kekhususan. Misalnya di wilayah-wilayah di pegunungan, kepulauan yang memang sulit daya jangkaunya.
"Contohnya, Kalimantan Utara (Kaltara) yang sempat kesulitan saat ada kewajiban legalisir Kartu Keluarga (KK). Saat itu, Dinas tidak berani mengambil diskresi dan akhirnya, gubernur mengambil keputusan membolehkan KK tanpa legalisir," katanya.
Kendati demikian, Ombudsman tetap mengapresiasi sistem zonasi sekolah yang telah diterapkan. Menurutnya, sistem ini bisa menumbuhkan rasa keadilan.
“Karena itu, kami sangat menghargai dan mendorong diterapkan sistem zonasi sekolah ini," katanya.