Rabu 18 Jul 2018 05:01 WIB

Soekarno-Natsir,PNI-Masyumi: Bertengkar dan Bersahabat

Waktu Sukarno dipenjara kelompok Natsi pertama menjenguk dan rutin mengirim buku.

Seokarno menyallami M Natisr seusai di sumpah sebagai perdana menteri seusai disuma
Foto:
Soekarno dan Nasir pada 30 Desember 1954. Pertemuan itu berlangsung pada hari ulang tahun Masyumi.

Dalam sebuah wawancara dengan yang dimuat di majalah Editor, 20 Februari 1993, Natsir menuturkan proses perkenalannya dengan Sukarno saat dirinya masih pelajar AMS dan Bung Karno sudah seorang Insinyur lulusan THS Bandung.

Natsir mengaku, dirinya dan teman-teman sebayanya sangat mengagumi Bung Karno yang dikenal sebagai pemimpin pergerakan. Cara Sukarno berpidato mampu membangkitkan semangat perjuangan.

“Isi pidato Bung Karno, saya sudah hafal. Caranya berpidato enak sekali. Dia memiliki keahlian dalam membangkitkan semangat perjuangan,” ujar Natsir seraya menambahkan: “Nama Sukarno saat itu sudah menjadi jaminan. Soal isi pidatonya, ‘sebodo’.”

Akan tetapi, lambat laun antara Natsir dan kawan-kawan yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB) dengan Sukarno ada perbedaan pendapat yang sangat tajam. Bung Karno tidak mau membawa agama di dalam perjuangannya. Sukarno menganggap cukup dengan nasionalisme saja, karena kalau membawa-bawa agama akan bercerai-berai.

Berbeda dengan Sukarno, Natsir berpendapat untuk mencapai kemerdekaan, tidak cukup hanya dengan nasionalisme. Dorongan agama Islam, jauh lebih kuat.

Meskipun demikian, kenang Natsir, “kami tidak pernah bentrok. Perbedaan ide memang menyebabkan kami berpisah, tapi hubungan kami tetap dekat.”

Waktu Sukarno ditangkap, diadili, dan dipenjara di Sukamiskin, “yang pertama kali menjenguk Bung Karno di penjara, kelompok kami ini. Kelompok yang tidak sepaham dengan gagasan Bung Karno,” tutur Natsir sembari menambahkan: “Bukan orang-orang PNI yang pertama kali menjenguk Bung Karno.”

Ketika Bung Karno dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur, kelompok Natsir pula yang mengirimi Bung Karno buku-buku bacaan. Dari tempat pembuangannya, Bung Karno intens berkorespondensi dengan pemimpin Persis, Ustadz A. Hassan. Surat menyurat itu kemudian diterbitkan oleh A. Hassan dengan judul *Surat-surat Islam dari Endeh* (Bandung, Persatuan Islam, 1936).

Dengan judul yang sama, surat menyurat itu dimuat dalam buku utama Ir. Sukarno, *Dibawah Bendera Revolusi Djilid Pertama* (Jakarta, Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement