Selasa 17 Jul 2018 14:47 WIB

TGB dan Kiprah Alumni Al-Azhar di Kancah Politik Indonesia

Para alumni Al-Azhar mendukung TGB maju pada pilpres 2019

Dr. Elly Warti Maliki, Lc. MA, Kepala Sekolah Internasional Islamic School Jeddah dan Doktor Fiqih Muqarin Universitas Al-Azhar Cairo
Foto: Dokumen Pribadi
Dr. Elly Warti Maliki, Lc. MA, Kepala Sekolah Internasional Islamic School Jeddah dan Doktor Fiqih Muqarin Universitas Al-Azhar Cairo

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Elly Warti Maliki, Lc. MA, Kepala Sekolah Internasional Islamic School Jeddah dan Doktor Fiqih Muqarin Universitas Al-Azhar Cairo

Sepanjang perjalanan sejarah pergantian pimpinan nasional di Indonesia, dari periode ke periode, dari orde ke orde, dari presiden ke presiden, baru kali ini nama Al-Azhar mencuat di panggung politik nasional. Alumni Universitas Al-Azhar Mesir yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air, dari timur ke barat, dari utara ke selatan, selama ini, jauh sebelum Indonesia merdeka, mereka duduk tekun bersama santri dan jamaah majelis taklimnya, berdakwah, mengajar, mendidik, membimbing dan memberikan petuah. Jauh dari hiruk pikuk panggung politik dan kekuasaan.

Selama 72 tahun Indonesia merdeka, berkali-kali sudah pemilu berlangsung, belum pernah nama Al-Azhar ikut menyemarakkan panggung politik menjelang pemilu. Meskipun ada beberapa orang di antara mereka yang menduduki posisi mentri ataupun pimpinan lembaga tinggi negara.

Pertemuan Pondok Cabe

Berawal dari pertemuan alumni Al-Azhar yang diadakan di Pondok Cabe pada Januari 2018. Para alumni yang hadir sepakat mengusung Tuan Guru Bajang (TGB) Dr. Muhammad Zainul Majdi, MA, doktor bidang tafsir yang juga gubernur NTB, tampil berkontestasi dalam panggung kepimpinan nasional. Sebuah semangat kebersamaan yang belum pernah ada sejak mahasiswa Indonesia menuntut ilmu di Al-Azhar.

Dari situ, alumni yang jumlahnya mencapai 30 ribu orang dan tersebar di kota-kota besar sampai ke pelosok desa, diimbau turun gunung, untuk ikut berpartisipasi mendukung kesepakatan yang telah diambil. Riuh rendah para alumni bangkit menyambut panggilan tersebut. Tidak terkecuali mereka yang berdomisili di luar negeri.

Semangat ini semakin menggelora ketika beberapa kali Grand Syekh Al-Azhar, Prof Ahmad Muhammad Thayyib berkunjung ke Indonesia, beliau selalu menyempatkan diri bertatap muka, membimbing dan memberikan pengarahan serta nasehat kepada para alumni yang beliau panggil dengan sebutan "anak-anakku". Semua bergerak serentak mengadakan pertemuan, mengundang TGB ke pesantren dan perguruan masing-masing. Suasana kedatangan TGB disambut meriah di mana-mana, terutama saat sosok ini disandingkan dengan ulama berjuta follower, Datuk Seri Ulama Setia Negara, Ustadz Abdul Somad, Lc. MA.

Ribuan bahkan jutaan jamaah yang berada di bawah bimbingan para ulama alumi Al-Azhar menunggu dengan optimistis pencalonan TGB untuk pilpres 2019. Meskipun demikian, keterpilihan TGB dalam kepemimpinan nasional bukanlah tujuan utama. Karena misi yang diamanatkan Grand Syekh adalah mengokohkan moderasi Islam di Indonesia. Seandainya TGB tidak lolos sebagai capres, cawapres atau apa pun itu, bagi alumni berkhidmat di jalur struktural bukanlah satu-satunya jalan untuk pengabdian. Secara turun temurun mereka sudah terbiasa mengabdi di jalur kultural dalam bidang pindidikan, dakwah dan sosial.

Hari bulan pun berlalu. Penentuan capres cawapres sudah diambang pintu. Hati seluruh anggota keluarga besar alumni berdebar-debar. Bagai menanti kelahiran bayi laki-laki pertama dalam sebuah royal family. Loloskah TGB?

Saat yang ditunggu hampir tiba. Semua partai sibuk dengan lobi-lobi politik masing-masing. Sementara ulama alumni serta ribuan bahkan mungkin jutaan jamaah yang berada di belakang mereka harap-harap cemas menunggu keputusan koalisi partai. Bagai petir menyambar di siang bolong, saat terik matahari membakar bumi, tiba-tiba dunia perpolitikan dikejutkan pernyataan TGB tentang dukungannya kepada pemerintah yang notabene berseberangan dengan umat Islam.

Bagai tersentak dari mimpi. Sebagian ada yang terkejut, sedih, ada juga yang galau. Masyarakat terlanjur percaya kepada mereka, kepada para ulama yang selama ini dipatuhi dan diteladani. Apa yang harus mereka katakan kepada jamaah yang selama ini setia dan patuh mengikuti arahan mereka. Sementara itu para jamaah sendiri bingung, penuh tanda tanya. Apakah para ulama teladan mereka akan ikut membelot, atau akan berhadapan dengan TGB?

Berbagai isu dan analisa muncul selama lima hari berturut-turut sambung menyambung, tidak ada putusnya. Dari yang paling ekstrim ke kiri sampai yang paling ekstrim ke kanan. Ada yang mengatakan karena kecewa pada Partai Demokrat. Sebagian analis menyebutkan terjerat kasus. TGB tertipu dalam pengalihan saham Pemda NTB kepada PT Newmont. Saham sudah diambil alih oleh PT Newmont sedangkan uangnya tidak ada. TGB membelot untuk selamat dari kasus ini.

Ada juga yang melihat TGB sebagai pribadi yang haus kekuasaan. Perundungan dan hujatan datang hampir dari semua penjuru. PA 212 pun mencoret namanya dari bursa capres. Namun TGB bergeming dan tetap pada pendiriannya.

Membaca politik Indonesia dalam Konteks Global

Dekade terakhir irama politik di negara mayoritas Muslim cenderung terpecah, kemudian hancur lebur karena perbedaan internal. Perseteruan Syiah dan Sunni di Irak dan Syria, telah memporak porandakan negeri pencetak para ulama abad keemasan Islam. Peninggalan sejarah berupa bangunan dan karya intelektual Muslim musnah. Ribuan nyawa tak berdosa melayang tanpa dapat dipertanggung jawabkan.

Hal yang hampir sama terjadi di Mesir. Gejolak pergantian kepemimpinan nasional hampir saja membawa negeri seribu menara tersebut hancur. Kesadaran tokoh Islam untuk menyelesaikan sendiri persoalan internal mereka telah menutup jalan bagi pihak lain untuk mengirimkan dan memuntahkan senjata di tanah air mereka.

Berkaca dari berbagai peristiwa tersebut, dari pernyataannya: "Demi keutuhan bangsa, demi masa depan umat". Bukankah lebih baik kita ber-husnuzan bahwa barangkali ini yang sedang berkecamuk dalam pikiran seorang Tuan Guru Bajang. Karena itu beliau mengambil langkah yang penuh resiko dan sangat tidak populer ini.

Dari sikap yang secara zhahir negatif, memang sangat sulit untuk bisa melihatnya dalam konteks yang positif. Apakah TGB tengah dizalimi, atau pribadi yang suka menzalimi saudaranya sendiri? Dalam hadis Anas r.a yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan:

انصر أخاك ظالما أو مظلوما

Belalah saudaramu baik dia mendzalimi ataupun didzalimi. Membela saudara yang didzalimi dengan menyabarkannya, sedangkan membela saudara yang mendzalimi dengan cara menyadarkannya.

Mudah-mudahan TGB bukan sedang berada pada posisi didzalimi, apalagi mendzalimi. Beliau sedang mempertaruhkan hidupnya untuk bangsa ini, untuk keutuhan NKRI agar negeri ini tidak tercabik-cabik seperti negera-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya. Bukankah Allah swt memberikan kebaikan sesuai prasangka baik hambanya? Wallahu a'lam bish-shawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement