Jumat 13 Jul 2018 06:45 WIB

Merawat Silat di Suriname

10 persen lebih penduduk Suriname adalah keturunan Jawa.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Muhammad Hafil
Florence Hartini Wangsabesari-Jamin, warga negara Suriname keturunan Jawa yang menjadi satu-satunya pelatih pencak silat perempuan di sana. Hartini juga menjabat sebagai Presiden Asosiasi Pencak Silat Suriname (SPSA).
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Florence Hartini Wangsabesari-Jamin, warga negara Suriname keturunan Jawa yang menjadi satu-satunya pelatih pencak silat perempuan di sana. Hartini juga menjabat sebagai Presiden Asosiasi Pencak Silat Suriname (SPSA).

REPUBLIKA.CO.ID,  PADANG -- Seni bela diri asli Indonesia, pencak silat, semakin dikenal dunia. Frekuensi pengadaan gelanggang kompetisi dan festival pencak silat semakin tinggi. Pemerintah mencatat, setidaknya pencak silat sudah dikenal di 45 negara di dunia. Dalam gelaran Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang mendatang pun, sedikitnya 10 negara akan menurunkan pesilatnya di 16 kelas pertandingan.

Indonesia boleh bangga sebagai kampung halaman pencak silat. Berbagai aliran silat lahir dan berkembang di berbagai daerah di Tanah Air, termasuk di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Namun kita tak boleh lupa bahwa di seberang benua sana ada satu negara yang memiliki seni bela diri pencak silat yang juga diturunkan langsung dari nenek moyang mereka. Negara itu adalah Suriname di Amerika Selatan.

Kenapa pencak silat di sana diajarkan turun temurun dari leluhur? Alasannya, 10 persen lebih penduduk Suriname adalah keturunan Jawa.

Seni bela diri pencak silat di Suriname dibawa langsung oleh masyarakat Jawa yang diboyong pemerintah kolonial Belanda pada akhir 1800-an dan awal 1900-an. Hingga saat ini masih terdapat sekitar 70 ribu-an penduduk Suriname keturunan Jawa yang hidup berdampingan dengan penduduk setempat. Tak heran, pencak silat cukup berkembang di sana sampai sekarang.

Presiden Asosiasi Pencak Silat Suriname (SPSA), Florence Hartini Wangsabesari-Jamin menyebutkan bahwa saat ini terdapat ribuan warga keturunan Jawa yang aktif mempelajari pencak silat melalui 15 perguruan silat yang tersebar di seantero Suriname. Menurutnya, mempromosikan silat di Suriname memiliki tantangan tersendiri. Berbeda dengan warga Indonesia yang telinganya akrab dengan istilah 'pencak silat' sejak dini, masyarakat keturunan Jawa di Suriname memiliki tanggung jawab untuk mengenalkan seni beladiri tradisional ini kepada generasi muda.

"Kami masih menjaga silat karena ini sejatinya adalah senjata kakek nenek kami saat berperang dulu. Kami lah yang harus menjaga warisan ini," jelas Hartini usai mengikuti pembukaan Festival Silat Internasional (FSI) di Kota Padang, Sumatra Barat, Kamis (12/7).

photo
Festival Silat Internasional (FSI) 2018 digelar di Padang, Sumatra Barat pada 12-15 Juli 2018. Ajang ini diikuti 4 negara yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Suriname.

Di Suriname, Hartini merupakan satu-satunya guru silat perempuan yang ada. Namun baginya hal ini bukan menjadi penghalang. Justru Hartini mencoba melakukan pendekatan kepada seluruh kalangan, termasuk anak-anak dan perempuan, untuk ikut mempelajati pencak silat.

Upayanya bisa dibilang cukup berhasil. SPSA mencatat, ada lebih dari 1.000 pesilat yang aktif berlaga dari 15 perguruan di Suriname. Hartini menyebut, gerakan pencak silat bahkan mulai dikenalkan kepada anak-anak usia 2 tahun. Pesilat asal Suriname juga ia kirimkan untuk mencicip pertandingan antarnegara.

"Saya lah yang sekarang meneruskan semuanya. Saya melatih, memimpin asosiasi, bahkan saya yang jadi juri kalau ada kejuaraan. Kalau judo dan karate bisa dikenal, pencak silat juga harus bisa," katanya.

Hartini memang tak sendiri di Suriname. Namun bila usahanya untuk nguri-uri pencak silat tidak mendapat bantuan dari saudara jauhnya di Indonesia, tentu silat di Suriname akan sulit berkembang. Dengan hadir langsung di Festival Silat Internasional di Padang, Hartini menjajal menyuarakan ajakan untuk bersama-sama mengembangkan silat agar lebih mendunia.

"Saya sedih melihat kalau silat dilupakan. Saya ingin orang Indonesia membantu perjuangan kami menjaga silat ini. Kami juga berniat bekerja sama dengan pesilat Indonesia ke Amerika Latin. Suriname yang dijadikan pusatnya nanti," jelas dia.

Hartini berharap ada kerja sama jangka panjang antara perguruan silat di Indonesia dengan perguruan serupa di Suriname. Ia ingin seluruh pesilat memiliki satu pandangan yang sama untuk mengembangkan seni beladiri ini. Hartini juga mengingatkan pesilat agar tidak terkotak-kotakkan oleh kepentingan masing-masing perguruan. Mimpinya adalah menyebarkan pencak silat ke negara-negara lain di Amerika Latin.

"Kita semua pesilat harus satu. Jangan dari perguruan ini, perguruan itu. Kita sama," katanya. 

photo
Festival Silat Internasional (FSI) 2018 digelar di Padang, Sumatra Barat pada 12-15 Juli 2018. Ajang ini diikuti empat negara yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Suriname.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement