REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Indonesian Demokratic Center for Strategic Studies (Indenis), Girindra Sandino, berpendapat duet Joko Widodo dan Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi pada Pilpres 2019 akan menghilangkan sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Duet ini sekaligus menghilangkan sebutan ‘cebong’ dan ‘kampret’ pada pertarungan elektoral.
“Jika duet antara Jokowi dan TGB terjadi, maka akan terjadi persatuan, dan tidak ada lagi kalimat 'cebong' dan 'kampret' lagi dalam pertarungan elektoral," kata Girindra, di Jakarta, Kamis (12/7).
Ia mengatakan duet Jokowi-TGB akan meminimalisir isu-isu SARA dan isu-isu sensitif terkait sentimen agama. Bahkan, ia menambahkan, tidak tertutup kemungkinan isu sentimen agama perlahan akan hilang.
Menurut dia, TGB yang merupakan Gubernur NTB dua periode memiliki berprestasi serta dekat dengan ulama yang memiliki ribuan jamaah. Bahkan, ia berpendapat, ustaz-ustaz yang memiliki jutaan jamaah seperti Ustaz Abdul Somad dan Ustaz Bachtiar Nasir pasti mendukungkungnya.
"Walau belum terang-terangan mendukungnya, karena harus menunggu komando Habib Rizieq Shihab, tetap saja saya yakin demi kemaslahatan umat, kebaikan dan kemajuan umat Islam beliau alim ulama pasti mendukungnya," kata Giging, sapaan Girindra.
Koalisi ini diharapkan mampu menumbuhkan kultur baru dalam masyarakat. Ia mengatakan, kultur baru dengan mengubah pola pikir yang ada selama ini, dalam pendekatan organisional dan mengembangkan budaya organisasi.
"Koalisi ini memiliki kesempatan untuk melakukan gerakan bukan saja gerakan politik, akan tetapi gerakan budaya,” kata dia.
Ia juga menilai Jokowi-TGB lebih berorientasi kerakyatan, nasionalis, dan religius sehingga diharapkan dapat meraih dukungan pemilih nasionalis dan agamis. Ia mengatakan, tidak tertutup kemungkinan partai-partai Islam lain ikut bergabung.
“Instabilitas kompetisi antar-parpol (interparty competition) yang dipengaruhi oleh perubahan sikap pemilih (electoral volatility) adalah faktor strategis lain yang memperkuat argumen tentang urgensi koalisi parpol yang harus ditangkap kubu Jokowi," ujarnya.
Restu SBY
Kendati demikian, ia mengatakan, TGB masih membutuhkan restu dari Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjadi pendamping Joko Widodo. Namun, ia pun meyakini keputusan TGB untuk melakukan pendekatan politik terhadap Jokowi pasti diketahui oleh SBY.
Tidak hanya itu, Giging juga berpendapat, pendekatan politik itu direstui oleh SBY. "SBY memainkan manuver politik kepemimpinan situasional kepada TGB untuk mendekati Jokowi,” kata dia.
Ia pun menerangkan dalam ilmu politik teori politik kepemimpinan situasional, kondisi ini menunjukkan kepemimpinan yang efektif adalah bergantung pada relevansi tugas. “Hampir semua pemimpin yang sukses selalu mengadaptasi gaya kepemimpinan yang tepat," kata direktur eksekutif Indenis ini.
Efektivitas kepemimpinan bukan hanya soal pengaruh terhadap individu dan kelompok, tetapi bergantung pula terhadap tugas, pekerjaan atau fungsi yang dibutuhkan secara keseluruhan. "Jadi pendekatan kepemimpinan situasional fokus pada fenomena kepemimpinan di dalam suatu situasi yang unik,” kata dia.
Dari cara pandang ini, seorang pemimpin agar efektif harus mampu menyesuaikan gayanya terhadap tuntutan situasi yang berubah-ubah. “Hal ini memang layak dan tepat diperankan oleh TGB yang dapat merangkul semua kalangan, baik dari nasionalis maupun agamis," tutur Giging.