REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing menyarankan partai politik tidak menggunakan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dalam pemilihan presiden yang berlangsung pada 2019. Menurutnya sudah saatnya capres dan cawapres dipilih karena kualitas dan program kerja.
"Harusnya para partai deklarasi menolak segala bentuk kampanye yang mempertentangkan perbedaan etnis di antara kita," ujar Emrus di Jakarta, Selasa (4/7).
Ia berpendapat selama ini belum ada keinginan partai menolak dengan tegas digunakannya isu SARA, apalagi saat partai dan pasangan calon diuntungkan akan cenderung membiarkan.
Menurut Emrus, seharusnya partai yang diuntungkan muncul ke permukaan dan dengan tegas menyatakan tidak mau menang karena isu SARA. "Kalau diserang dari sudut SARA atau agama bisa teriak, kalau diuntungkan harus maju juga. Seringkali ada pembiaran karena menguntungkan," kata Emrus.
Menurut dia, memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden karena hanya melihat dari sisi kesukuan pun sudah saatnya diakhiri karena akan mengabaikan kualitas dan program kerja setiap pasangan calon.
"Saya pikir harus kita sudahi masih terkotakkan suku dan agama. Sulit untuk maju dan akan menjadi tirai penutup untuk program," katanya.
Terkait proyeksi calon presiden dan wakil presiden, Emrus menyebut realitas politik bukan harga mati, melainkan sangat cair, siapa pun dapat berpasangan hingga batas akhir pendaftaran pada Agustus 2018. Ia pun menekankan pentingnya sosok yang akan menjadi cawapres karena saat terpilih, karpet merah menuju calon presiden pada pemilu pada 2024 sudah tergelar.