Rabu 04 Jul 2018 00:09 WIB

Larang Eks Koruptor Nyaleg, KPU Dinilai Salah Cara

Hanya DPR dan presiden yang bisa membatasi hak asasi manusia.

Rep: Farah Noersativa/ Red: Ratna Puspita
Warga memasukan surat suara ke kotak suara. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Warga memasukan surat suara ke kotak suara. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin, menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) menempuh cara yang salah untuk melarang mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri pada Pemilu 2019. KPU memilih memuat aturan tersebut dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 20 Tahun 2018. 

"Saya menolak KPU hanya pada soal caranya. Cara membatasi hak dipilih melalui PKPU dan bukan melalui undang-undang itulah yang saya tidak setuju karena bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945," kata Said dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika, Selasa (3/7).

Dia mengatakan, tidak seharusnya KPU melarang dengan menggunakan PKPU. Menurutnya, UUD 1945 adalah peraturan perundang-undangan yang ada di dalam sistem hukum yang ditempatkan pada jenjang yang tertinggi di RI.

Selain itu, ia mengatakan, ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa hak asasi manusia boleh dibatasi, tetapi dengan syarat. Syarat itu, yakni hanya boleh dilakukan melalui undang-undang.

"Undang-undang itu produk legislasi. Pembentuknya lembaga legislator, yaitu DPR sebagai legislator dan presiden sebagai co-legislator,” kata dia.

Dengan demikian, ia mengatakan, hanya kepada kedua lembaga itulah UUD 1945 memberikan kewenangan untuk membatasi hak asasi manusia tersebut. “Termasuk hak untuk dipilih dalam Pemilu,” kata dia. 

Karena itu, ia mengatakan, pembatasan yang dilakukan oleh lembaga Penyelenggara Pemilu melalui PKPU jelas tidak berdasarkan atas hukum karena bertentangan dengan UUD 1945. KPU, ia melanjutkan, adalah lembaga regulator yang produk peraturannya disebut dengan regulasi.

Ia menambahkan KPU bukan lembaga regulator yang berwenang membentuk produk legislasi atau undang-undang. "Jadi saya menolak pembatasan hak dipilih yang dilakukan KPU bukan karena maksud KPU tidak baik. Masyarakat tentu harus diberitahu tentang latar belakang caleg yang pernah menjadi koruptor dan pelaku kejahatan luar biasa lainnya.”

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement