Senin 02 Jul 2018 22:52 WIB

Kyai Muda Buntet Pesantren Raih Doktor di UI

Fathi menggunakan perspektif baru yang menempatkan alam tidak hanya sebagai objek.

Red: EH Ismail
Fathi Royyani (tengah) usai mengikuti Sidang Terbuka Senat Akademik UI Promosi Doktor di Kampus FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Senin (2/7).
Foto: Dok Pri
Fathi Royyani (tengah) usai mengikuti Sidang Terbuka Senat Akademik UI Promosi Doktor di Kampus FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Senin (2/7).

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK – Seorang kyai muda dari Buntet Pesantren Cirebon, Mohammad Fathi Royyani, meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI). Fathi berhasil mempertahankan disertasinya pada bidang Antropologi di hadapan para penguji di Kampus FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Senin (2/7).

Disertasi berjudul “Cagar Biosfer: Perubahan Status Kawasan, Relasi Sosial dan Relasi Manusia-Alam dalam Isu Konservasi” tersebut mengantarkan Fathi mendapatkan predikat sangat memuaskan.

“Alhamdulillah, setelah proses yang panjang, akhirnya selesai juga,” ujar Fathi usai mengikuti Sidang Terbuka Senat Akademik UI Promosi Doktor atas nama dirinya.

Fathi merupakan putra dari KH Muhammad Sholeh Bakri dan Ny Hj Masruroh. Ia menikah dengan Solikha Fitriyani, putri dari KH Fakhruddin Mulyono BK dan Nyai Hj Munawwaroh. Cucu Kyai Abbas bin Abdul Jamil, Buntet Pesantren ini kini memiliki tiga orang putri dan satu orang putra.

Dia menghabiskan masa studi menengahnya di Pondok Buntet Pesantren, tepatnya di Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama (MTs NU) Putra dan Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MA NU) Putra Buntet Pesantren. Fathi kemudian melanjutkan studinya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Jakarta) pada jurusan Sejarah Kebudayaan Islam. Setelah itu, dia melanjutkan studi magisternya pada program studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI yang diselesaikan pada 2004. Di fakultas yang sama inilah dia menyelesaikan studi doktoralnya.

Disertasinya membahas dinamika proses pembentukan dan pengelolaan kawasan konservasi yang bernama Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu yang dilakukan oleh multiagen, yakni negara, swasta, dan masyarakat.

Dia menekankan proses hubungan antara alam dan manusia. Alam, menurut Fathi, saat ini sudah rusak. Untuk melakukan pencegahannya, dia pun mengajukan solusi untuk mengaktorkan alam. Pendekatan yang diajukannya tersebut terinspirasi dari Alquran surat An-Naml ayat 17-19. Pada ayat tersebut, Allah menggambarkan proses hubungan antara Nabi Sulaiman dan semut sebagai representasi dari alam

“Manusia harus mengaktorkan alam,” kata dia.

Menurut Fathi, orang-orang Indonesia memiliki kepekaan rasa hasil dari penghayatannya selama interaksi dengan alam dalam kurun waktu yang panjang. “Inilah yang disebut local wisdom.”

Kepekaan tersebut, Fathi melanjutkan, diejawantahkan dalam relasinya dengan alam. Manusia Indonesia menghormati alam melalui bahasa-bahasa yang khas, sehingga terkadang mereka seolah atau memang benar memahami bahasa alam.

Dalam situasi lingkungan yang sedang morat-marit, maka diperlulan upaya mengembalikan kelestarian alam, yakni dengan mengaktorkan alam. “Alam, baik itu binatang maupun tumbuhan, adalah makhluk hidup yang aktif dan setara dengan manusia,” kata dia.

Penulis buku-buku sejarah Islam Nusantara Zainul Milal Bizawie menilai, disertasi Fathi cukup menarik. Sebab, penelitiannya mengacu pada lapangan penelitian klasik antropologi yang mempelajari hubungan manusia dan alam. Istimewanya, kata Zainul, Fathi menggunakan perspektif baru yang menempatkan alam tidak hanya sebagai objek, tapi juga mampu menjadi subjek, agen atau aktor dalam mengkonstruksi suatu budaya tertentu.

“Baginya alam pun menyampaikan pesan, bicara dengan manusia. Inilah yang ditinggalkan kaum positivistik,” kata dia.

Zainul melanjutkan, Fathi berupaya mengembalikan adanya hubungan segitiga antara alam, manusia, dan Sang Pencipta dalam mengungkap keanekaragaman hayati cagar biosfer. Fathi pun dinilai berupaya mendedah relasi segitiga tersebut dengan pendekatan antroposentrisme dan  ekosentrisme, sehingga merasakan adanya kehadira n 'adi kodrati' tanpa harus merujuk pada pendekatan Teosentrisme, seperti yang dilakukan para agamawan.

“Tegasnya, manusia tidaklah aktor utama dalam kehidupan. Inilah yang seharusnya dijadikan pertimbangan dalam mengatasi berbagai isu konservasi,” ujar Zainul.

Saat ini, Fathi merupakan peneliti di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di luar rutinitasnya sebagai aparatur sipil negara, Fathi juga memegang amanah sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PCNU Kota Depok. Dia pun mengasuh Majelis Dzikir dan Ilmu Sembilan Bintang di Masjid Islamadina Perumahan Griya Kalibaru, Depok, Jawa Barat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement