REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil Pilkada serentak yang telah berlangsung diharapkan dapat memunculkan berbagai kepala daerah yang dapat memutus dampak buruk dari kekuatan perekonomian oligarki. Sebab, hal itu menghambat berbagai aspek kesejahteraan nasional.
"Walhi menilai politik elektoral dapat menjadi momentum bagi kekuatan politik rakyat untuk memutus rantai kelindan kekuatan ekonomi dan kekuatan politik yang menyatu dalam oligarki politik," kata Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Khalisah Khalid, dalam rilis, Ahad (1/7).
Dengan kata lain, menurut dia, politik elektoral sekaligus juga menjadi momentum untuk memajukan agenda politik lingkungan hidup dan agenda politik rakyat lainnya. Ia mengingatkan kesadaran politik di tingkat demokrasi prosedural harus lebih dimajukan untuk secara bersama-sama membersihkan lembaga negara dari perusak lingkungan hidup dan perampas sumber-sumber kehidupan rakyat.
Ironinya, ujar dia, di tengah situasi Indonesia mengalami darurat ekologis, isu lingkungan hidup yang substansif atau akar masalah lingkungan hidup masih menjadi isu pinggiran. Padahal, berbagai upaya juga telah dilakukan oleh penyelenggara pemilu baik KPU pusat maupu KPUD antara lain melalui debat kandidat yang memasukkan isu lingkungan hidup atau pembangunan berkelanjutan.
Ia berpendapat bahwa selama putaran kampanye pilkada, calon kepala daerah belum menawarkan agenda lingkungan yang substansif. "Jikapun ada, masih di kulit atau permukaannya,” kata dia.
Ia mencontohkan pasangan calon di pilkada tidak berani menawarkan agenda moratorium sawit atau tambang. “Atau, review perizinan dan penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi," kata dia.
Selain itu, dia menilai, para kandidat juga masih belum ada yang berani menunjukkan keinginan lepas dari ketergantungan terhadap energi kotor dan beralih ke energi terbarukan.
Konsep oligarki ekonomi atau penguasaan aset-aset kekayaan negara kepada segelintir orang atau kalangan yang dekat dengan pihak kekuasaan. Konsep ini dinilai sangat berbahaya karena berpotensi menghambat pertumbuhan perekonomian nasional.
"Oligarki ekonomi di Indonesia berkorelasi positif dengan ketimpangan dan disinyalir menjadi penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi," kata Direktur Eksekutif Megawati Institute, Arif Budimanta, dalam diskusi "Bahaya Oligarki Ekonomi", akhir tahun lalu.
Menurut Arif, oligarki ekonomi dapat menerangkan ketimpangan ekonomi. Reformasi diharapkan dapat menegakkan demokratisasi serta keadilan ekonomi.
Namun, yang terjadi antara lain adalah fenomena meningkatnya ketimpangan. Hal ini terindikasi dari meningkatnya rasio gini dalam berbagai bidang, termasuk penguasaan lahan atau tanah hingga aset keuangan.
Hasilnya, ujar dia, pada saat ini kekayaan terkonsentrasi pada segelintir penduduk. Bahkan, sejumlah kajian menunjukkan 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 45,4 persen total kekayaan negara.
Ia juga mengingatkan oligarki terjadi karena tingkat pengembalian kapital pelaku ekonomi lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, ada unsur patrionalisme kapitalisme, yaitu penguasaan modal yang berbasis kepada kekuatan aset yang dimiliki sekelompok atau jaringan keluarga, dan diwarisi dari waktu ke waktu.
"Oligarki juga berasosiasi dengan pemerintah yang lebih birokratis dan lebih intervensionis, juga dengan perkembangan pasar finansial yang kurang berkembang. Penguasaan di tangan oligarki dapat merusak perkembangan institusi yang penting bagi pertumbuhan ekonomi," ucapnya.
Untuk itu, Arif merekomendasikan agar pemerintah mempercepat redistribusi aset dan akses untuk meningkatkan penguasaan aset masyarakat bawah. Solusi lainnya, yakni mempercepat pelaksanaan kebijakan dana desa, menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional, dan perlunya fokus menjadikan UKM sebagai tulang punggung perekonomian seperti yang terjadi di Taiwan, Jerman, dan negara-negara di Skandinavia.