Senin 02 Jul 2018 04:37 WIB

Dari Perang Dagang Menuju Perang Mata Uang?

Pelemahan rupiah relatif paling dalam dibandingkan dengan mata uang negara lain.

Sunarsip
Foto: dok. Pribadi
Sunarsip

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Sunarsip

Secara alamiah, nilai tukar mata uang kita (rupiah) memang relatif lebih lemah daripada mata uang sejumlah negara tetangga, seperti ringgit Malaysia dan baht Thailand. Kita masih ingat, ketika terjadi krisis moneter 1997/1998, pelemahan rupiah didorong oleh dampak penularan akibat pelemahan baht Thailand.

Persepsi yang waktu itu terbangun, bila baht terdepresiasi, semestinya rupiah juga perlu “disesuaikan” (terdepresiasi). Persepsi itulah yang menggiring rupiah melemah dengan derajat pelemahan yang justru relatif lebih dalam dibanding baht. Pertanyaannya, mengapa secara alamiah rupiah relatif lebih lemah dibandingkan dengan ringgit ataupun baht?

Pada dasarnya, nilai tukar mata uang menggambarkan kemampuan ekonomi suatu negara, khususnya kemampuannya dalam hal menghasilkan devisa atau valuta asing. Semakin besar kemampuan perekonomian dalam menghasilkan devisa (baik dari ekspor, investasi, dan sumber lainnya), maka nilai tukar mata uang negara tersebut akan relatif lebih aman dari gejolak nilai tukar di pasar.

Dalam beberapa aspek, kita memang relatif lebih baik dari Malaysia, Thailand, dan beberapa negara lain di Asia Tenggara. Namun, tingkat kemampuan kita dalam menghasilkan devisa masih relatif lebih rendah daripada sejumlah negara tetangga. Salah satu indikatornya terlihat dari posisi neraca transaksi berjalan Indonesia.

Saat ini, neraca transaksi berjalan kita masih mengalami defisit sekitar 1,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit transaksi berjalan ini menggambarkan kemampuan kita dalam menghasilkan devisa valas, baik dari ekspor dan pendapatan lainnya, masih rendah.

Bandingkan dengan neraca transaksi berjalan Malaysia dan Thailand yang surplus masing-masing 1,3 persen dan 10,6 persen terhadap PDB-nya. Kondisi fundamental inilah yang antara lain menyebabkan nilai tukar rupiah secara alamiah relatif lebih lemah dari ringgit dan baht.

Harus diakui, kemampuan kita dalam menghasilkan devisa memang masih terbatas. Kalau memperhatikan kinerja neraca perdagangan (ekspor-impor) kita dalam lima bulan pertama 2018 ini, cukup mengkhawatirkan. Selama periode Januari-Mei 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 2,83 miliar dolar AS.

Padahal, dalam periode yang sama tahun 2017, neraca perdagangan kita justru surplus sekitar 6,0 miliar dolar AS. Defisit neraca perdagangan selama Januari-Mei 2018 ini terutama disumbangkan oleh kuatnya pertumbuhan impor dibandingkan ekspornya.

Selama periode Januari-Mei 2018, ekspor Indonesia tumbuh 9,65 persen (year on year/yoy). Namun, dalam periode yang sama, impor Indonesia tumbuh 24,75 persen (yoy). Peningkatan impor ini terutama didorong oleh impor barang modal yang tumbuh 33,73 persen (yoy) dan barang konsumsi 27,75 persen (yoy).

Dengan melihat karakteristik yang melekat pada rupiah ini, maka yang dapat dilakukan otoritas moneter (Bank Indonesia) adalah menjaga agar persepsi pemilik valas (terutama investor investasi portofolio) tetap positif terhadap kinerja ekonomi dan investasi di Indonesia.

Tujuannya agar para pemilik dana tidak membawa keluar investasi portofolionya. Sebab, bila terjadi capital outflow, itu berarti pasokan valas di dalam negeri berkurang sehingga akan mendorong penguatan nilai tukar dolar AS dan pelemahan rupiah.

Pekan lalu, nilai tukar rupiah melemah tajam terhadap dolar AS. Pada akhir pekan lalu, nilai tukar dolar AS menyentuh Rp 14.404. Pelemahan yang tajam ini antara lain dipicu oleh faktor eksternal, terutama akibat pelemahan mata uang (devaluasi) yuan terhadap dolar AS yang dilakukan Cina.

Kebijakan devaluasi itu terutama ditujukan untuk meningkatkan daya saing produk ekspor Cina sebagai respons dari kebijakan pengenaan tarif impor produk-produk asal Cina oleh Amerika Serikat. Praktis, akibat pelemahan yuan, seluruh mata uang negara berkembang turut terdepresiasi.

Sayangnya, pelemahan rupiah relatif paling dalam dibandingkan dengan mata uang negara lain. Pelemahan yang cukup dalam ini antara lain disebabkan oleh kurangnya berita positif di dalam negeri, terutama terkait kinerja neraca perdagangan yang masih defisit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement