Senin 02 Jul 2018 04:37 WIB

Dari Perang Dagang Menuju Perang Mata Uang?

Pelemahan rupiah relatif paling dalam dibandingkan dengan mata uang negara lain.

Sunarsip
Foto:

Dalam rangka menjaga stabilitas dan memperkuat nilai tukar rupiah, akhir pekan lalu (29 Juni), BI mengeluarkan serangkaian kebijakan moneter dan makroprudensial. Di bidang moneter, BI menetapkan kebijakan kenaikan suku bunga acuan (BI 7-Day Repo) sebesar 0,50 persen dari 4,75 persen menjadi 5,25 persen.

Kenaikan BI 7-Day Repo memang mendorong penguatan rupiah. Namun, kita masih menunggu efektivitas kebijakan ini dalam jangka yang lebih lama. Mengingat tantangan menjaga stabilitas nilai tukar masih cukup besar, kebijakan kenaikan BI 7-Day Repo ini perlu diimbangi dengan langkah strategis lainnya agar penguatan rupiah terus berlanjut.

Saya berpendapat bahwa pergerakan nilai tukar mata uang di sejumlah negara berkembang kini cakupannya sudah mengglobal. Pemicunya terutama dimulai dari perang dagang antara AS dan Cina.

Sebagaimana kita ketahui, dengan dalih ingin menjaga kinerja neraca perdagangan luar negerinya, AS menerapkan kebijakan pengenaan tarif impor atas sejumlah produk dari Cina yang masuk ke AS. Kebijakan itu tentu merugikan kepentingan dagang Cina di AS. Produk ekspor Cina menjadi kurang kompetitif karena lebih mahal.

Nah, dalam rangka menjaga daya saing produk ekspornya, Cina memperlemah nilai tukar mata uangnya. Tujuannya agar produk ekspor Cina ke AS tetap kompetitif pasca-kebijakan pengenaan tarif bea masuk oleh AS. Perang dagang dan sekarang mengarah ke perang mata uang inilah yang berpotensi mengganggu stabilitas nilai tukar mata uang global.

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa penanganan terhadap krisis mata uang juga tidak bisa dilakukan secara parsial oleh masing-masing bank sentral. Hampir sama dengan ketika dunia mengantisipasi dampak krisis finansial AS pada 2008 lalu, negara-negara yang kini terdampak oleh “perang dagang” dan “perang mata uang” antara AS dan Cina ini perlu meningkatkan kerja samanya untuk menjaga stabilitas nilai tukar mata uang global. Dalam hal ini, BI perlu mengambil inisiatif mengajak bank sentral lainnya untuk bertindak secara bersama-sama mengatasi krisis nilai tukar global ini.

Dari sisi internal, sebagaimana yang pernah saya sampaikan sebelumnya (tulisan saya di Republika pada 14 Mei dan 4 Juni 2018), kita membutuhkan banyak berita positif terkait kinerja neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Kuncinya adalah, selain mendorong ekspor, kita juga perlu mengurangi tekanan impor yang menguras devisa.

Oleh karena itu, saya mengusulkan perlu ada kebijakan berani dari pemerintah untuk memangkas penyelesaian beberapa proyek infrastruktur yang kurang strategis pada tahun ini, misalnya dengan menunda penyelesaiannya pada tahun berikutnya, tidak dipaksakan selesai tahun ini.

Tujuannya agar tekanan impor pada tahun ini dapat dikurangi sehingga kebutuhan valasnya juga dapat dikurangi. Bila tidak ada kebijakan berani tersebut, saya khawatir tekanan terhadap rupiah masih akan berlanjut pada masa mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement