REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari lembaga survei Indikator, Mochamad Adam Kamil, mengatakan, fenomena pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Asyik) pada Pilkada Jawa Barat 2018 menunjukkan efektivitas mesin politik PKS. Perolehan suara pasangan Asyik tidak berbeda jauh dari pasangan Ridwan Kamil dan Uu Rizhanul Ulum (Rindu).
"Fenomena Asyik di Jawa Barat menurut saya sudah menunjukkan efektivitas mesin parpol pendukungnya, terutama PKS," kata Adam kepada Republika.co.id, Kamis (28/6).
Adam mengatakan tidak adil mengukur efektivitas mesin partai hanya jika calon yang diusung memenangkan pilkada. Sebab, ia mengatakan, dalam konteks pilkada, ukuran efektivitas mesin partai politik terlalu luas.
Ia mengatakan, ada faktor lain dalam pemilihan kepala daerah, yakni ketokohan calon dan isu nasional. “Isu nasional terutama wilayah Jawa yang ekpos kepada sumber informasinya lebih cepat,” kata dia.
Ia menambahkan, isu nasional ini sudah terbentuk sehingga kandidat bisa memanfaatkanya pada waktu yang tepat. “Tinggal menunggu waktu saja untuk melihat efeknya dalam memobilisasi dukungan," kata Adam.
Faktor yang tidak terlalu memengaruhi adalah kedekatan pemilih dengan partai. Adam menilai, secara umum di Indonesia, kedekatan pemilih dan parpol tertentu sangat rendah.
Karena itu, calon harus lebih memprioritaskan kedekatannya dengan pemilih. "Contoh yang paling dekat di Jawa Timur, PDIP dan PKB jika bergabung basisnya akan dominan, tetapi faktanya kalah di pilkada," kata Adam.
Adam juga menyoroti kiprah partai dengan ideologi Islam pada pilkada serentak 2018. Ia berpendapat, partai berideologi Islam, seperti PKS, PPP, dan PKB, serta PAN, yang memiliki basis pemilih Muslim, tidak berbeda dengan partai nasionalis.
Adam mengatakan, hal tersebut terlihat dari tidak adanya partai Islam yang berkoalisi di suatu wilayah untuk mengusung calon. "(Partai Islam) selalu berkoalisi juga dengan partai nasionalis, jadi di Pilkada 2018 ini, bahkan di pilkada-pilkada sebelumnya juga demikian," ujarnya.
Bahkan, ia mengatakan, koalisi di tingkat nasional tidak langsung menentukan koalisi di tingkat lokal. Sebab, setiap partai memiliki kepentingan sendiri.
“Semakin ke bawah maka akan semakin bervariasi karena hubungan koalisi di parlemen, daerah, sangat beragam," kata dia.