REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Komisioner KPU, Viryan, mengatakan pihaknya tidak mengirimkan surat undangan pemungutan suara kepada para tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para tahanan KPK masih bisa menggunakan hak pilihnya jika dia kembali ke daerah untuk melakukan pencoblosan.
"Memang KPU tidak mengirim surat ke KPK untuk tahanan. Ini karena ada prinsip perlakuan yang sama. Kondisi ini juga berlaku bagi orang lain yang yang bukan tahanan KPK," ujar Viryan ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (26/6).
Viryan menuturkan, jika ada mahasiswa dari daerah yang kuliah di Jakarta, maka hak pilihnya hanya bisa digunakan di daerah. Demikian juga dengan orang sakit yang berasal dari daerah dan sedang melakukan pengobatan di Jakarta.
"Semuanya begitu, tidak hanya tahanan KPK saja. Tidak ada TPS Pilkada suatu daerah yang didirikan di luar daerah pemilihan pilkada. Memang prinsip dalam pilkada itu demikian," tutur Viryan.
Namun, para tahanan KPK masih memiliki hak untuk memilih. Hanya saja, hak pilih mereka bisa digunakan jika mereka kembali ke daerahnya.
"Benar, mereka masih bisa mencoblos jika kembali ke daerah," tambah Viryan.
Sebelumnya, Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan pada dasarnya KPK mengikuti aturan pilkada yang salah satu penyelenggaranya adalah KPU. Diketahui, terdapat sejumlah tahanan KPK yang saat ini memiliki catatan kependudukan di daerah yang ikut pilkada serentak Rabu (27/6) besok.
"Namun, KPK belum menerima surat apapun dari KPU terkait dengan apakah para tahanan yang ada di KPK perlu difasilitasi untuk melakukan pemungutan suara atau tidak. Tentu yang berwenang melaksanakan hal tersebut adalah KPU sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Febri.
Febri menjelaskan, sejauh ini, koordinasi KPK dan KPU adalah untuk memfasilitasi tahanan menggunakan hak pilih di rutan yang wilayah hukumnya mengikuti proses pemilu, baik pilkada DKI, ataupun pilpres dan pileg yang telah dilakukan sebelumnya.
KPK berharap proses demokrasi yang akan dilakukan secara serentak dapat berkontribusi positif untuk daerah masing-masing dan jangan sampai ada suara rakyat yang dibeli. Karena, politik uang adalah langkah awal yang dapat menjerumuskan kepala daerah pada perilaku korupsi.
"Jangan sampai kita kotori proses demokrasi ini dengan korupsi," kata Febri.
Sampai saat ini, 95 kepala daerah telah KPK proses dalam kasus korupsi di 108 kasus korupsi dan pencucian uang. Pelaku korupsi tersebut tersebar di 22 provinsi di Indonesia dengan jabatan gubernur, bupati, wali kota atau wakil.
"Terbanyak di Jabar (12), Jatim (11) dan Sumut (9). Sedangkan modus korupsi yang paling dominan adalah penyuapan," terangnya.
KPK pun berharap jika proses demokrasi di pilkada serentak dapat menghasilkan Pemimpin yang berintegritas. "Tentu kami berharap ke depan lebih sedikit, kapan perlu tidak ada kepala daerah yang melakukan korupsi," ucapnya.