Senin 25 Jun 2018 08:08 WIB

Salim Said Nilai Habibie Sebagai Penyelamat Bangsa

Keputusan Habibie memilih demokrasi saat krisis tahun 1998 dianggap tepat.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Bilal Ramadhan
Wartawan Senior Aristides Katoppo (kanan) memaparkan pandangannya bersama Pengamat ekonomi Umar Juoro (kedua kanan),Pengamat Politik Senior Salim Said (kiri) dan moderator Bawono Kumoro saat menjadi pembicara dalam acara Orasi 82 Thn B.J.Habibie : Demokratisasi  Tak Boleh Henti!  di Habibie Center, Jakarta, Ahad (24/6).
Foto: Republika/Prayogi
Wartawan Senior Aristides Katoppo (kanan) memaparkan pandangannya bersama Pengamat ekonomi Umar Juoro (kedua kanan),Pengamat Politik Senior Salim Said (kiri) dan moderator Bawono Kumoro saat menjadi pembicara dalam acara Orasi 82 Thn B.J.Habibie : Demokratisasi Tak Boleh Henti! di Habibie Center, Jakarta, Ahad (24/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dan pertahanan Prof Salim Said menilai, keputusan Habibie untuk memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berkelanjutan ketika Indonesia mengalami krisis tahun 1998 sebagai penyelamat bangsa. Karena dengan komitmen Habibie tersebut, keadaan di Indonesia kembali stabil.

Prof Salim menceritakan, Habibie bukan tokoh politik dan tidak pernah belajar teori politik. Habibie, kata dia, adalah seorang yang sangat ahli dalam teknologi dan pesawat terbang. Sehingga, ketika memutuskan memilih demokrasi sebagai sistem politik yang berkelanjutan, Habibie tidak ragu dan yakin terhadap keputusannya, meskipun saat itu tentangan datang dari berbagai pihak.

"Kalau dia belajar teori politik seperti saya pasti dulu dia akan banyak pertimbangan, tapi karena dia ahli kapal terbang yang dia yakini itu hanya satu, jika pesawat sudah tidak stabil maka pesawat akan jatuh. Dan pola pikir seperti Habibie itulah yang justru  menyelamatkan Indonesia waktu itu," kata Salim dalam "Orasi 82 Tahun BJ Habibie" di The Habibie Center, Kemang, Jakarta Selatan, Ahad (24/6).

Selain itu, menurut dia, keyakinan dan komitmen Habibie untuk tetap menjalankan demokrasi juga menjadi jawaban atas tantangan para elite yang sempat meragukan keputusan Habibie untuk menerapkan "demokrasi" saat krisis ketika itu. Terlebih, kata dia, memang hingga kini belum ada elite bangsa yang memahami bangsanya.

"Dulu kita tahu bagaimana Soekarno memanfaatkan Pancasila itu, lalu Suharto jadi presiden dan di-Jawa-kan lah itu Pancasila. Dan saat ini? Dengan adanya BPIP juga itu saya tidak mau bilang itu kacau, tapi saya bilang tanda-tanda rezim itu akan jatuh ya kalau sudah ada ideologi yang dipompakan maka masyarakat akan ribut," kata Salim.

Sementara itu, tantangan lain saat ini adalah adanya beberapa kelompok yang ingin menggantikan demokrasi  menjadi sistem khilafah. Salim bercerita, dahulu dia sempat diajak bicara oleh tokoh-tokoh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengenai kemungkinan diterapkannya sistem khilafah di Indonesia.

"Mereka berbicara soal khilafah, lalu saya bilang khilafah itu imperium, ada imperium Romawi, imperium Rusia, dan semua itu sudah hancur ketika muncul nation state yang muncul di sekitar Revolusi Prancis," ungkap Salim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement