REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) merilis hasil penelitian terbaru terkait adanya temuan pelanggaran netralitas yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di lima provinsi. Untuk menekan tingkat kecurangan yang dilakukan oleh ASN, KPPOD merekomendasikan pencabutan hak politik bagi ASN.
Menanggapi hal tersebut pengamat politik Universitas Padjajaran, Idil Akbar mengatakan pencabutan hak politik bagi ASN dinilai tidak perlu. Menurutnya, sudah jelas sanksi bagi ASN yang tidak netral dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Kalau pun ada keterlibatan ASN, aparat dan sebagainya, ya dalam hal ini saya kira hukumnya sudah jelas ya, sudah tegas, ya kita ikuti saja aturan itu," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (24/6).
Baca: KPPOD Rekomendasikan Cabut Hak Politik ASN tak Netral.
Menurutnya, ASN berbeda dengan Polri dan TNI yang bekerja berdasarkan komando. Sedangkan, ASN ada pertimbangan sipil yang harus diperhatikan.
"Mereka sipil, problemnya kan di situ. Dan hak sipil terhadap itu adalah terkait profesional kerja bukan sebagai bentuk dalam komando TNI atau Polri," tuturnya.
Untuk diketahui, netralitas ASN diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 53/2010 tentang Disiplin PNS dan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi, Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tentang larangan ASN terlibat politik praktis. Dalam surat edaran tersebut, ASN dilarang untuk mengunggah, menanggapi seperti like, komentar atau sejenisnya. Mereka juga dilarang menyebarluaskan gambar atau foto, visi dan misi bakal calon kepala daerah di medsos apapun.
Sebelumnya dalam pemaparannya, peneliti KPPOD, Aisyah Nurrul Jannah membeberkan, sejumlah temuan keterlibatan 80 ASN di lima provinsi selama penelitian dilakukan dari Februari hingga Juni 2018. Lima provinsi tersebut antara lain Jawa Barat, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Aisyah pun menambahkan dari 80 kasus pelanggaran ASN, sebanyak 56 persennya melibatkan ASN dengan jabatan setingkat staf. "Terbanyak yang terlibat politik praktis itu ASN kalangan staf sampai 56 persen, kedua ada kepala dinas 13 persen," tegasnya.
Sedangkan aktor lainnya yang terlibat dalam pelanggaran ASN meliputi 10 persen Guru, Lurah 5 persen, Camat 8 persen, Kepala Desa 2 persen, Kepala Sekolah 1 persen, Sekretaris Daerah (Sekda) 2 persen, Wakil Bupati 1 persen dan Sekregariat KORPRI 1 persen.