Kamis 07 Jun 2018 17:20 WIB

ICMI dan Widya Mataram Gelar Diskusi Antisipasi Terorisme

Antisipasi sebenarnya harus bisa dilakukan sejak dini.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Diskusi bertajuk Antisipasi dan Mencegah Gerakan Terorisme: Apa yang Harus Dilakukan?
Foto: Wahyu Suryana.
Diskusi bertajuk Antisipasi dan Mencegah Gerakan Terorisme: Apa yang Harus Dilakukan?

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Terorisme musuh bersama. Untuk mengantisipasinya, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Universitas Widya Mataram Yogyakarta menggelar diskusi bertajuk Antisipasi dan Mencegah Gerakan Terorisme: Apa yang Harus Dilakukan?

Diskusi menghadirkan tokoh-tokoh mulai Ketua Majelis Pengurus ICMI DIY Herry Zudianto, Rektor Universitas Widya Mataram Edy Suandi, Tim Konsultan Ahli BPHN Depkum HAM Mahfud MD, dan Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Hadi Utomo.

Turut hadir Rektor Universitas Sanata Dharma, Johanes Eka Priyatma, dan mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Nandang Sutrisna. Diskusi diselenggarakan di Bale Raos Keraton Yogyakarta.

Dalam sambutannya, Herry Zudianto melihat, saat ini Indonesia masih tergagap-gagap mengambil langkah-langkah antisipasi. Namun, ia menekankan, ini merupakan pekerjaan rumah bagi semua elemen bangsa Indonesia.

"Kita semua punya tanggung jawab ketika bicara radikalisme maupun terorisme," kata mantan wali kota Yogyakarta tersebut, Kamis (7/6).

Rektor UWM Yogyakarta, Edy Suandi Hamid berpendapat, antisipasi sebenarnya harus bisa dilakukan sejak dini baik di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun di rumah. Untuk itu, perlu dibuka ruang dialog bagi mereka yang tengah mencari jati diri.

"Jadi ketika masuk (lembaga-lembaga pendidikan) langsung kita edukasi, nilai-nilai luhur Indonesia kita masukkan sebelum paham-paham lain masuk ke pola pikir mereka," ujar Edy.

Untuk itu, ia merasa ruang-ruang diskusi harus sudah dibuka dari awal dan dari banyak aspek. Tujuannya, agar orang-orang yang tengah mencari jati diri tidak merasakan satu inferioritas dan menafikkan siapa saja yang tidak sejalan.

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Syafaatun Almirzanah, yang tengah menulis buku tentang Sayid Kutb merasa, penanggulangan bisa dimulai dengan memahami akar-akar terorisme sendiri. Hal itu dilakukan demi melihat titik-titik radikal yang ada di pola pikir.

Selain itu, ia merasa belakangan komunitas Muslim belum banyak memberikan pemahaman tentang bentuk-bentuk jihad. Artinya, pemahaman bentuk-bentuk jihad yang begitu luas yang dimiliki orang terbilang terbatas.

"Kita harus kembangkan apa yang disebut artistik jihad, yang mungkin akan membantu teman-teman memahami kalau ada makna-makna jihad yang lain," katanya.

Dirreskrimum Polda DIY, Kombes Pol Hadi Utomo melihat, pembentukan Densus 88 sudah sudah menunjukkan pentingnya penanganan terorisme. Terlebih, Densus 88 memiliki 25 Kasatgasus yang ada di seluruh Indonesia.

Pembentukan Satgas itu sendiri ditentukan kegentingan satu daerah. Artinya, pemisahan Satgas di DIY dan Jawa Tengah yang tadinya satu menujukkan pula kegentingan terorisme yang ada baik di DIY maupun Jawa Tengah.

"Kami bersyukur, alhamdulillah, walau belum ada nomornya, saat ini sudah ada (UU Terorisme)," ujar Hadi.

Tim Konsultan Ahli BPHN Depkum HAM, Mahfud MD berpendapat, memperjuangkan semua ide pembantukan hukum di Indonesia harus diolah di dalam proses legislasi. Dalam proses legislasi itu bertemulah ide Kejawen, ide Jawa, ide Hindu dan lain-lain lalu muncullah hukum nasional.

Artinya, sebenarnya memperjuangkan hukum syariah boleh-boleh saja yang melalui proses legislasi tadi. Karenanya, tidak boleh ide-ide itu, termasuk hukum syariah, berdiri sendiri tanpa melalui proses legislasi.

"Bernegara itu wajib hukumnya karena untuk melaksanakan perintah agama dengan baik orang harus punya agama, kalau kamu ingin beribadah dengan baik tapi tidak ada negara, maka bernegara itu wajib sebagai syarat awal, tapi sistemnya itu tidak diajarkan, artinya sistemnya beda-beda boleh," kata Mahfud.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement