Kamis 07 Jun 2018 08:00 WIB

Kampus Radikal, WCU, dan Intelektual Robot

Sesungguhnya WCU menimbulkan bahaya bagi sistem pendidikan.

Nindira Aryudhani
Foto: dok. Pribadi
Nindira Aryudhani

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nindira Aryudhani, Relawan Opini dan Media, Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jatim, E-mail: [email protected]; [email protected]

 

Gemas sekali dengan label kampus radikal. Terlebih ketika dirilis daftar tujuh kampus negeri ternama yang diduga terpapar radikalisme menurut BNPT. Yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB). Perlu dicatat, bahwa dalam daftar ini, minus Universitas Gadjah Mada (UGM).

Masalahnya, definisi radikal versi pemerintah (rezim) terbukti melahirkan persekusi dan kediktatoran konstitusional yang berawal dengan terbitnya Perppu Ormas no 2 tahun 2017, yang kini telah sah menjadi UU Ormas (UU Nomor 16 Tahun 2017). Yang mana khusus kampus, ada Deklarasi Kebangsaan Perguruan Tinggi se-Indonesia Melawan Radikalisme di Peninsula Island, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, September 2017 lalu. Bahkan, terkait dengan kasus terduga teroris di Universitas Riau (Unri) baru-baru ini, Menristekdikti Mohamad Natsir telah menyatakan di media bahwa pihaknya akan memantau nomor HP dosen dan akun-akun media sosial milik mahasiswa.

Entahlah, mungkin ada yang terluput saat daftar kampus radikal ini disusun. Mungkin mereka lupa, tujuh kampus ini tengah diproyeksikan menjadi World Class University (WCU). Barangkali mereka juga alpa, jika kampus-kampus besar ini disebut radikal, maka masyarakat justru bisa berkurang minatnya untuk menguliahkan putra-putrinya di sana. Apa tidak rugi sendiri pemerintah dan tentunya kampus yang bersangkutan? Padahal status WCU meniscayakan biaya tinggi dari masyarakat yang tentu nominalnya dapat menjadi sumber pemasukan bagi kas negara juga. Bisa jadi, ini pula alasan yang menyebabkan drama terorisme justru terjadi di kampus Unri, kampus yang belum ditargetkan menjadi WCU. Yakni, agar program WCU di kampus-kampus besar, tetap terkendali.

Di sini perlu kita dalami terlebih dulu, apa sejatinya WCU itu? Jadi, sejak tahun 2006 pemerintah Indonesia terus mendorong berbagai perguruan tinggi di dalam negeri untuk meraih status WCU. Bahkan Kemenristekdikti menjadikannya arus utama dengan agenda yang dinamakan “Peningkatan Reputasi Perguruan Tinggi Indonesia Menuju World Class University (WCU)”. Melalui agenda ini, mulai tahun 2010 pemerintah menargetkan 11 perguruan tinggi negeri (PTN) besar di Indonesia untuk bisa masuk ke dalam kelompok WCU dalam lima tahun ke depan. Mandat tersebut diberikan guna meningkatkan ranking reputasi Perguruan Tinggi Indonesia pada sistem pemeringkatan universitas tingkat dunia, yaitu UI, ITB, UGM, Unair, IPB, Undip, UNS, ITS, UB, Unpad dan Unhas. 

Tahun 2015, baru dua PTN yang memenuhi target, yaitu UI dan ITB. PTN lain yang selanjutnya ditargetkan bisa masuk ke dalam jajaran 500 WCU tahun 2019 yaitu ada lima, meliputi UI, ITB, UGM, Unair, dan IPB. Khusus Unair, diharapkan bisa lebih cepat masuk kelompok WCU, yaitu tahun 2018. Dan pada tahun-tahun berikutnya jumlah PTN target akan terus ditambah.

Tak tanggung-tanggung, untuk memenuhi target tersebut, pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp 5 miliar per tahun kepada lima perguruan tinggi itu. Dana tersebut digunakan sebagai pembiayaan atas solusi jangka pendek seperti memperbarui data-data dosen asing, meningkatkan jumlah peneliti dan mahasiswa internasional, dan mengumpulkan data-data sitasi penelitian. Selain itu, ada lembaga khusus (bisa merupakan bagian kerja sama internasional) yang disiapkan mengurusi soal perbaruan informasi data ke lembaga pemeringkatan.

Prof Dr Ir Tumiran MEng, anggota tim persiapan WCU, saat itu mengatakan latar belakang pemberian mandat tersebut ialah untuk menetapkan dimana posisi perguruan tinggi Indonesia pada tatanan iptek dan pendidikan di dunia. Untuk itu harus ada instrumen pengujian yang dipakai agar WCU dengan berbagai indikatornya dapat menaikkan posisi perguruan tinggi di Indonesia. Adanya konsep WCU ini dianggap sebagai kemampuan suatu perguruan tinggi dapat berdaya saing global.

Prof Tumiran juga mencontohkan beberapa negara di kawasan Asia, seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang sudah selangkah lebih maju dalam mengejar WCU. Ia menilai reputasi Perguruan Tinggi untuk menjadi WCU di negara tersebut tidak lepas dari kontribusinya terhadap pembangunan bangsa. Berbagai hasil penelitian universitas dimanfaatkan untuk kepentingan bangsanya. Sebelas PTN tadi, menurut Prof. Tumiran, telah memiliki rangking baik pada sistem pemeringkatan dunia. Karenya, dengan mandat WCU ini, diharapkan PTN yang bersangkutan dapat menyempurnakan pemeringkatan tersebut.

Namun demikian, masyarakat sebagai pengguna WCU juga harus mengetahui lebih detil lagi tentang WCU ini. Adalah KBE (Knowledge Based Economy, Ekonomi Berbasis Pengetahuan). Konsep KBE ini dicanangkan oleh negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) tahun 1996 di Paris. Hal ini kemudian diperkuat dan dimasifkan dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos 20-23 Januari 2016, dalam merealisasikan dunia menuju era revolusi industri tahap empat. Di situ ditegaskan bahwa “’Teori pertumbuhan baru’ menggambarkan upaya untuk memahami peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menggerakkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, investasi riset dan pembangunan, pendidikan, pelatihan dan struktur manajerial yang baru adalah kunci (pen: pertumbuhan ekonomi)”.

WCU sendiri adalah salah satu capaian program KBE. Arti penting capaian WCU bagi kesuksesan agenda KBE adalah posisi strategis institusi pendidikan tinggi sebagai inti dari sistem ilmu. Bahkan seolah menegaskan, terkait hal ini World Bank turut memberikan pernyataan, bahwa pendidikan adalah salah satu dari 4 pilar yang sangat penting agar suatu negara dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam knowledge economy.

Parameter KBE makin nampak nyata tatkala terdapat aspek penting yang menjadi standar penilaian WCU, khususnya pada aspek tata kelola sebagaimana tuntutan good university governance, yaitu mengharuskan pendidikan tinggi dan lembaga riset dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis. Tak ayal, negara pun diposisikan sebagai pembuat kebijakannya, agar koalisi penjajahan intelektual ini menjadi legal dan terlegitimasi. Jadi dengan kata lain, KBE adalah konsep ekonomi liberal untuk agenda penjajahan gaya baru, yang bersinergi dengan konsep sistem politik demokrasi neoliberal.

Demikianlah, adanya WCU-KBE makin meminggirkan peran pemerintah. Suaranya bukan sebagai suara pihak pengurus pendidikan, melainkan sekedar regulator yang dengung posisinya hanya ditemukan di majelis wali amanat, tidak lebih. Minimnya kehadiran pemerintah tersebut makin dipertegas dalam sinergi neoliberal A (academic) –B (business) –G (government). Realisasi sinergi ini adalah peran negara yang sebatas fasilitator. Selanjutnya, sebagai konsekuensi logis, visi misi pendidikan tinggi, kurikulum, riset, serta industri termasuk industri strategis dan yang berkaitan dengan hajat hidup publik, berada dalam genggaman korporasi.

Selanjutnya harus disadari pula, sesungguhnya WCU menimbulkan bahaya bagi sistem pendidikan. Yaitu menjauhkan peran intelektual yang selayaknya berkontribusi untuk umat. Pada tataran ini terlihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah kehilangan maknanya sebagai instrumen penting pewujud kesejahteraan masyarakat. Instrumen yang saat ini berubah menjadi komoditas bisnis untuk dikomersialisasikan. Memang benar, intelektual adalah kalangan orang-orang yang bermanfaat bagi manusia. Tapi manusia mana yang dimaksud? Apakah bermanfaat untuk masyarakat akar rumput, atau jangan-jangan para intelektual terabdikan sempurna dengan bekerja/melakukan riset demi perusahaan asing, sang pemberi dana riset tersebut?

Namun coba kita bayangkan, andai benar program WCU-KBE berikut label radikalisasi kampus ini sukses besar. Tidakkah kaum terpelajar akan bagai intelektual robot? Di mana aspek intelektualitasnya dieksploitasi demi capaian ilmu pengetahuan sebagai komoditi ekonomi, tapi identitas kemuslimannya dibunuh dengan berbagai persekusi dan intimidasi seperti tudingan muslim radikal, kampus radikal, atau bahkan teroris. Ironis, mereka tak ubahnya robot yang hanya mampu menurut pada pemegang remote control dirinya, yaitu para pemilik dana riset.

Coba kita ricek bersama. Betapa pentingnya indikator terhadap intelektualitas para kaum terpelajar di negeri muslim terbesar ini. Yang tak lain, semata berupa aktualisasi posisi dan relasi mereka sebagai hamba Sang Khaliq. Meski dalam hal ini, mereka harus melawan derasnya arus opini neoliberalisasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement