Jumat 01 Jun 2018 00:07 WIB

Gema Kemenangan Mahathir di Indonesia

Kabar kemenangan Mahathir sampai ke Indonesia.

Khoerun Nisa Fadillah, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
Foto: Dokumen pribadi
Khoerun Nisa Fadillah, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khoerun Nisa Fadillah, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

'Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya'. Kira-kira begitulah ungkapan yang tepat untuk menunjukan fenomena yang terjadi di Malaysia. Siapa sangka, Najib Razak, Perdana Menteri Malaysia, seorang pejawat yang sudah berkuasa sejak 2009 dan diprediksi akan memenangkan lagi kontestasi pada Pemilu Serentak 2018, ternyata dapat dikalahkan oleh Mahathir Muhammad, seorang politisi generasi lama, berusia 92 tahun, dan pernah dianggap sebagai pemimpin otoriter ketika berkuasa sebagai Perdana Menteri Malaysia selama 22 tahun (1981-2003), yang menjebloskan tokoh reformasi Malaysia, Anwar Ibrahim, ke dalam penjara atas tuduhan sodomi (BBC News, 07/05/2018).

Jika melihat kekuatan Najib Razak sebagai petahana sekaligus Ketua Partai Organisasi Nasional Malaysia Bersatu (UMNO) yang merupakan partai utama dalam koalisi barisan partai penguasa (Barisan Nasional), maka potensi kemenangan Najib Razak sangat besar. Bahkan hasil survei Merdeka Center telah mengindikasikan bahwa Najib Razak akan memenangkan kembali kontestasi ini (The Guardian, 08/05/2018).

Tidak hanya itu, teori pun mendukung hal ini, Alan Ware dalam bukunya Political Parties and Party System (1996) mengungkapkan bahwa petahana memiliki keuntungan-keuntungan yang dapat memudahkan ia dipilih kembali dalam suatu pemilihan umum. Tak heran, jika di beberapa kesempatan, Najib Razak, menunjukkan kepercayaan dirinya bahwa ia akan menang (Channel News Asia, 06/05/2018). Di samping itu, ia juga dianggap telah menunjukkan kekuatannya dalam membungkam serangan oposisi atas isu skandal korupsi yang ditujukan padanya dengan mengeluarkan Undang-Undang Anti-Hoax. Namun pada kenyataannya, Najib Razak harus menelan pil pahit karena dikalahkan oleh Mahathir Muhammad yang didukung oleh koalisi oposisi, Pakatan Harapan.

Dunleavy dalam Ware (1996) mengemukakan terdapat dua strategi utama yang dapat digunakan oleh oposisi untuk memenangkan pemilu: (1) memodalisasi ketegangan sosial (capitalizing social tensions), yaitu dengan mengubah preferensi jangka pendek dengan mencambuk antagonisme di antara kelompok-kelompok sosial berbeda; dan (2) pengaturan agenda (agenda setting), yaitu dengan memfokuskan perhatian masyarakat terhadap isu-isu tertentu. Nampaknya kedua strategi ini digunakan oleh koalisi oposisi Pakatan Harapan di bawah kepemimpinan Mahathir Mohammad dalam memenangkan pemilu kali ini.

Pertama, dalam memodalisasi ketegangan sosial, Mahathir dan koalisi oposisinya mencambuk antagonisme antara kondisi masyarakat yang tertekan oleh biaya hidup yang semakin meningkat dengan kebiasaan belanja yang luar biasa dari istri Najib Razak (BBC News, 07/05/2018). Kedua, dalam pengaturan agenda, Mahathir dan koalisi oposisinya memfokuskan perhatian masyarakat terhadap isu skandal korupsi dan utang negara yang membengkak.

Di samping itu, untuk merebut dukungan massa etnis Melayu, Mahathir bersepakat untuk mengeluarkan Anwar Ibrahim dari penjara dan akan menyerahkan kekuasaannya pada Anwar Ibrahim beberapa tahun setelah ia menyelesaikan beberapa urusannya sebagai Perdana Menteri serta menjamin pelindungan hak istimewa etnis Melayu terutama dari ancaman terhadap pekerjaan dan tanah di Malaysia dari proyek-proyek investasi besar yang didanai oleh Cina (BBC News, 07/05/2018). Dengan merebut dukungan suara etnis Melayu, Mahathir Muhammad berhasil menambah suara kelompok Cina (Tsunami Cina) yang sudah diperoleh lebih dulu pada 2013. Tak heran jika pada Pemilu 2018 ini, Mahathir dan koalisi oposisinya menang.

Bagaimana di Indonesia?

Kabar kemenangan oposisi di Malaysia, telah bergema di Indonesia. Kabar ini membangkitkan optimisme koalisi oposisi di Indonesia untuk bisa meraih hal yang sama pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang. Apakah optimisme ini dapat terwujud? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Ya, jika koalisi oposisi di Indonesia bisa mengkontekstualisasikan strategi yang telah dilakukan koalisi oposisi di Malaysia dengan kondisi yang ada di Indonesia.

Dalam arti bahwa koalisi oposisi di Indonesia harus memahami bagaimana cara untuk mengubah preferensi jangka pendek dengan mencambuk antagonisme di antara kelompok-kelompok sosial berbeda yang ada di Indonesia dan mencari isu-isu yang dapat dijadikan fokus perhatian masyarakat Indonesia serta mencari cara bagaimana merebut suara kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia yang belum terjangkau. Sebaliknya, jawabannya akan menjadi tidak, jika yang dikampanyekan hanya sekedar perang hastag #2019GantiPresiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement