Selasa 29 May 2018 16:10 WIB

Pengamat: Polemik Gaji Jangan Cederai Pengabdian BPIP

Pengamat nilai BPIP diisi sosok-sosok kompeten yang tak lagi memikirkan urusan gaji.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Presiden Joko Widodo (kedua kanan) ketika menerima Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri (keenam kiri) bersama anggota BPIP di Istana Merdeka.
Foto: Antara/Wahyu Putro A
[Ilustrasi] Presiden Joko Widodo (kedua kanan) ketika menerima Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri (keenam kiri) bersama anggota BPIP di Istana Merdeka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan jangan sampai polemik gaji mencederai pengabdian ketua dan anggota Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP) untuk negara. Pengabdian para tokoh dalam merawat ideologi negara jauh lebih penting ketimbang soal gaji. 

Menurut dia, para tokoh yang berada di BPIP sudah selesai dengan urusan gaji. "Jangan-jangan pejabat BPIP tak pernah tahu soal besaran salary itu. Ini penting untuk diperjelas," kata direktur eksekutif Parameter Politik Indonesia tersebut ketika dihubungi Republika, Selasa (29/5).

Adi menjelaskan dilihat komposisinya, BPIP diisi oleh sosok-sosok kompeten dengan integritas ke-Indonesia-an yang luar biasa. Kesediaan para tokoh mengabdi kepada negara sebenarnya anugerah terbesar untuk Indonesia yang tak bisa dinominalkan dengan apapun. 

Karena itu, masyarakat harus mengapresiasi semangat mengabdi itu. Dia menilai berapapun jumlah tidak menjadi persoalan karena BPIP merupakan lembaga yang sangat penting untuk menyemai nilai-nilai Pancasila ke seluruh penjuru tanah air. 

"Yang terpenting, BPIP berfungsi maksimal," ujar kata dia. 

Kendati demikian, Adi mengakui, nominal gaji BPIP yang terlampau tinggi memang menjadi paradoks. Dia menjelaskan gaji yang tinggi kurang sensitif dengan kondisi ekonomi rakyat saat ini. 

Kini, negara sedang berhemat, anjloknya kurs rupiah lagi anjlok dan daya beli beli rakyat yang cenderung rendah. Dengan kondisi itu, tentu kebijakan menggaji BPIP dengan jumlah fantantis kurang pas karena terkesan tidak sensitif.

Hal ini tentu berbeda apabila kondisi ekonomi bangsa stabil. "Ini jadinya sebuah paradoks kan. Kita lagi berhemat tapi gaji dewan BPIP tinggi sekali," ucap Adi.

Adi menganggap wajar apabila publik juga mempertanyakan soal besaran gaji dewan BPIP yang melampaui gaji presiden. Bahkan, masyarakat membandingkan mana yang lebih penting antara presiden dan BPIP. 

Akan tetapi, dia juga mengingatkan, apapun dasarnya, gaji itu merupakan otoritas pemerintah. Karena itu, Adi mengajak masyarakat untuk menghormati kebijakan tersebut.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP, pada Rabu (23/5). Perpres itu mengatur hak keuangan beserta fasilitas para pimpinan, pejabat, dan pegawai BPIP.

Pada laman resminya, Sekretariat Negara mengumumkan, PP Nomor 42/2018 mengumumkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menjabat Ketua Dewan BPIP menjadi pemilik gaji terbesar, yakni Rp 112,548 juta.

Sementara itu, anggota dewan pengarah mendapatkan gaji Rp 100,811 juta per bulan. Anggota Dewan Pengarah terdiri dari delapan orang, yakni Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya. 

Untuk Kepala BPIP yang dijabat Yudi Latif mendapatkan Rp 76,5 juta. Wakil kepala Rp 63,75 juta, deputi Rp 51 juta, dan staf khusus Rp 36,5 juta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement