Rabu 23 May 2018 20:32 WIB

Partai Pendukung Pemerintah Terpecah Soal Definisi Terorisme

Definisi terorisme menjadi perdebatan alot di Tim Perumus Revisi RUU Terorisme.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andri Saubani
Suasana Rapat Pansus RUU Terorisme di Jakarta, Rabu (23/5).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Suasana Rapat Pansus RUU Terorisme di Jakarta, Rabu (23/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau RUU Terorisme telah menyepakati adanya dua rumusan alternatif definisi terorisme. Meski demikian, munculnya dua rumusan alternatif definisi terorisme tetap masih belum bisa menyatukan suara fraksi terkait definisi tersebut.

Bahkan, fraksi-fraksi koalisi pendukung pemerintah pun turut terpecah menafsirkan definisi terorisme. "Hari ini kita menyepakati dua rumusan definisi terorisme yang akan diputuskan dalam pleno pansus bersama pemerintah untuk memutuskan definisi yang akan digunakan," ujar anggota Pansus RUU Terorisme dari Fraksi PPP, Arsul Sani, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (23/5).

Rumusan alternatif pertama, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungqn hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Kemudian, alternatif kedua, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror, atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Untuk PPP sendiri, Arsul Sani menjelaskan, lebih sepakat dengan rumusan alternatif kedua, yaitu adanya frasa motif politik, ideologi, dan gangguan keamanan dalam batang tubuh definisi terorisme. Lanjut Arsul, ada tujuh fraksi lain selain PPP yang memilih alternatif ini, yaitu Fraksi Nasdem, Fraksi PKS, dan Fraksi Hanura.

Sementara itu, Fraksi PAN, Fraksi Demokrat, dan Fraksi Gerindra setuju rumusan alternatif kedua, tetapi dengan tambahan frasa atau kalimat negara. Fraksi Golkar memutuskan untuk mengikuti keputusan pihak pemerintah.

Selanjutnya, Pansus RUU Terorisme akan melaksanakan rapat pleno untuk mengambil keputusan alternatif definisi yang akan diambil. Namun, masih ada waktu sampai rapat pleno untuk melakukan lobi agar dua fraksi lainnya bisa memiliih alternatif kedua.

Sementara itu, dua fraksi koalisi pendukung pemerintah, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), bahkan PDI Perjuangan, justru lebih memilih rumusan alternatif pertama. Hal ini disampaikan oleh politikus PDI Perjuangan sekaligus anggota Pansus RUU Terorisme, Risa Mariska.

Menurut Risa, alasan pihanya menolak penambahan frasa motif tersebut karena dalam beberapa kasus terorisme bukan hanya karena adanya motif politik. "Kita cenderung ke alternatif pertama. Kejahatan terorisme itu tidak hanya berdasarkan motif ideologi politik saja. Bahkan, saya kira ada motif ekonomi, juga yang menyebabkan tindak pidana terorisme itu terjadi," kata Risa.

Selain itu, Risa juga menjelaskan bahwa penolakan terhadap masuknya frasa motif bukan karena PDI Perjuangan keberatan adanya pelibatan TNI dalam penanganan kasus teror. Sebab, Risa menegaskan bahwa pelibatan TNI itu sudah clear dan tidak ada masalah.

Bahwa, pelibatan TNI tanpa diatur dalam Undang-Undang Terorisme itu turut terlibat. "Jadi, tinggal menggunakan Undang-Undang TNI saja sebagai payung hukumnya," katanya menambahkan.

Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii menyampaikan bahwa defenisi terorisme sangat penting. Hal itu, kata Syafi'i, untuk membedakan pidana terorisme dengan pidana biasa dan yang membedakan adalah motifnya.

Sementara itu, mayoritas semua teroris di dunia memiliki motifnya sendiri. Politikus Fraksi Gerindra itu berpendapat bahwa sangat penting frasa adanya motif politik, ideologi, atau ancaman terhadap negara.

"Kalau tidak ada pembeda antara pidana terorisme dengan pidana biasa itu sangat riskan dan rawan. Ini akan menjadi pertanggungjawaban kita ke depan. Juga cukup riskan pula bila UU ini nanti digugat," ujar Syafi'i.

Perwakilan dari pemerintah, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham Enny Nurbaningsih, mendengarkan pandangan fraksi-fraksi, termasuk Fraksi Partai Gerindra. Meski mengakomodasi usulan fraksi soal frasa, Enny mengatakan bahwa penambahan frasa ini belum menjadi keputusan pemerintah.

"Pemerintah tidak bisa memutuskan. Karena itu, kami minta ini dibawa ke rapat kerja dulu agar kami bisa memutus sesuai dengan jadwal," papar Enny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement