Selasa 22 May 2018 01:43 WIB

Polri Tetap di Depan dalam Operasi Kontra Terorisme

Kadiv Humas Polri menyatakan pihaknya tetap terdepan dalam operasi kontra terorisme.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Bayu Hermawan
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menunjukkan barang bukti bom yang digunakan oleh Para Terduga Teroris saat keterangan pers mengenai kasus teror Bom Surabaya di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (15/5).
Foto: Antara/Reno Esnir
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menunjukkan barang bukti bom yang digunakan oleh Para Terduga Teroris saat keterangan pers mengenai kasus teror Bom Surabaya di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (15/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Setyo Wasisto menyatakan, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tetap berada di depan dalam operasi kontra terorisme. Sebab, operasi tersebut merupakan suatu operasi penegakkan hukum.

"Intinya ini adalah proses penegakan hukum, oleh sebab itu yang di depan polisi," katanya di Markas Besar Polri, Jakarta, Senin (21/5).

Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) rencananya dibentuk oleh pemerintah untuk membantu melakukan operasi kontra terorisme. Kendati demikian, Setyo mengaku belum bisa memastikan kapan Koopsusgab tersebut akan mulai berjalan.

Sejauh ini, kata Setyo komando pasukan khusus memang sudah dilibatkan dalam operasi kontra terorisme. Mereka dilibatkan dalam aksi di lapangan. Namun, Setyo kembali menegaskan, dalam operasi ini pun yang memegang komando adalah Polri.

"Kalaupun ada dilibatkan (kopassus), dia hanya membantu saja," ujarnya.

Saat ini, yang masih dinanti adalah Revisi Undang-Undang terkait Terorisme yang menjadi pembahasan lama di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Ia juga sebelumnya optimistis bahwa RUU ini akan segera selesai karena ia sudah bertemu dengan anggota DPR yang membahas UU tersebut. "Bahkan sebelum tanggal 30 Mei sudah selesai," ujar Setyo.

Terkait kewenangan Polri dalam revisi UU tersebut, Setyo menyatakan sudah disepakati. Kepolisian pun sama sekali tak mempermasalahkan pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam aksi kontra terorisme.

Polri menekan revisi pada UU Terorisme agar tidak bersifat responsif seperti UU yang digunakan saat ini, UU nomor 15 tahun 2003. Di revisi UU ayng baru, Polri bisa bersifat proaktif, yang artinya Polri bisa menindak pihak pihak yang memiliki bukti kuat terlibat organisasi terorisme meski belum melakukan aksi. Hal ini merupakan langkah represif dengan tujuan preventif.

Ketua Pansus Revisi Undang-Undang (RUU) Antiterorisme M Syafii mengatakan RUU Antiterorisme sudah hampir selesai. "RUU terorisme ini kan sudah hampir selesai 99,9 persen, tinggal definisi. Jadi rabu nanti pembahasan kita tunggal, untuk menyikapi apa itu terorisme, tidak ada yang lain," kata Syafii di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (21/5).

Syafii menjelaskan pada umumnya pemerintah sudah satu suara dengan pengertian yang diusulkan panglima TNI, Kapolri, Menteri Pertahanan, Menko Polhukam, dan usulan Prof Muladi bahwa definisi terorisme selain ada tindakan kejahatan yang bisa menimbulkan ketakutan masif, menimbulkan korban, merusak objek vital yang strategis, tapi juga mengancam kemanan negara dan punya tujuan politik serta ideologi.

"Semua satu suara tentang itu, makanya kita heran kalau kemudian dalam rapat pansus itu pihak Densus menolak, ada apa?," ujarnya.

Politikus Partai Partai Gerindra tersebut menyebut alasan Densus menolak definisi tersebut karena dinilai bisa mempersempit ruang gerak. "Mempersempit apa? kalau kemudian tidak bisa bebas menangkap ya memang harus tidak bebas. karena di negara hukum aparat penegak hukum pada dasarnya tidak ada kewenangan apapun kecuali yg diberikan oleh hukum itu sendiri," jelasnya.

Sementara itu, Syafii juga menjelaskan definisi dalam keetentuan umum tidak memerlukan penjelasan. Hal itu sesuai dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 Angka 107 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi; "Karena batasan pengertian, definisi, singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian, definisi, singkatan atau akronim, tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda".

Sehingga menurutnya, berkaitan dengan usulan pemerintah bahwa penjelasan definisi dicantumkan dalam penjelasan umum adalah tidak tepat dan sesuai dengan UUUndang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 Angka 183 yang berbunyi.

"Penjelasan umum membuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas, tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan".

Baca juga: Pansus Sebut RUU Antiterorisme Sudah Selesai 99,9 Persen

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement