Sabtu 19 May 2018 05:02 WIB

Mengapa Koopssusgab Penting Dibentuk?

Jokowi mengatakan ideologi terorisme sudah masuk ke sendi-sendi keluarga Indonesia.

Polisi berjaga saat pemindahan jenazah terduga pelaku teror dari ruang pendingin ke ambulans di RS Bhayangkara, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (18/5).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Polisi berjaga saat pemindahan jenazah terduga pelaku teror dari ruang pendingin ke ambulans di RS Bhayangkara, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (18/5).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Dessy Suciati Saputri, Fauziah Mursid

JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menyatakan pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam rangka memberikan rasa aman kepada masyarakat. Koopssusgab pun baru akan bertindak apabila situasi terkait terorisme berada di luar kapasitas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

"Artinya, tindakan preventif lebih penting dibandingkan represif," ujar Presiden.

Kepala Negara menyampaikan hal tersebut pada saat acara buka puasa bersama dengan pimpinan lembaga negara, para menteri Kabinet Kerja, dan sejumlah tokoh serta pengusaha di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (18/5).

Tindakan preventif yang dimaksud Presiden, yaitu dengan tidak memberikan ruang untuk ideologi terorisme di lembaga pendidikan, ruang publik, dan mimbar umum. Sebab, rangkaian aksi teror yang terjadi sejak pekan lalu, khususnya pengeboman tiga gereja di Kota Surabaya, Jawa Timur, melibatkan anak-anak di bawah umur.

"Seharusnya, anak ini masih dalam kondisi senang bermain di halaman rumah dan juga seharusnya anak ini masih senang sekolah. Dan, mungkin senang berkumpul dengan keluarga dan teman," kata Presiden.

Mantan gubernur DKI Jakarta itu pun menekankan ideologi terorisme sudah masuk ke sendi-sendi keluarga Indonesia. Oleh karena itu, Presiden berharap tidak ada lagi keluarga yang hancur akibat ideologi tersebut.

Rencana pemerintah menghidupkan kembali Koopssusgab tak lepas dari aksi teror di sejumlah daerah di Tanah Air beberapa waktu belakangan. Ditemui di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (16/5), Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) TNI Moeldoko mengklaim Presiden setuju dengan rencana itu.

Pertama kali Koopssusgab dibentuk oleh Moeldoko pada 2015 saat masih menjabat sebagai panglima TNI. Koopssusgab terdiri atas personel-personel terbaik TNI dalam bidang pemberantasan terorisme, mulai dari Satuan 81 Gultor Kopassus TNI AD, Denjaka Korps Marinir TNI AL, dan Satuan Bravo Paskhas TNI AU.

Kendati begitu, pembentukan Koopssusgab menuai pro dan kontra di antara berbagai kalangan. Pihak-pihak yang pro beralasan pengaktifan kembali Koopssusgab sudah mendesak. Sementara, pihak-pihak yang kontra berdalih tidak ada dasar hukum memadai meskipun pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sudah ada dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Berbarengan dengan rencana pemerintah menghidupkan Koopssusgab, Ketua DPR Bambang Soesatyo memastikan komitmen DPR dan pemerintah mempercepat penyelesaian revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme). Tujuannya adalah untuk memberikan payung dan kepastian hukum dalam pemberantasan terorisme yang menjadi musuh bersama.

Hal itu disampaikan Bambang secara resmi dalam pidato rapat paripurna pembukaan masa persidangan V DPR tahun sidang 2017-2018 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, kemarin.

Bambang pun meminta kepada pemerintah agar bersikap satu suara dalam pembahasan revisi UU tersebut. Sebab, menurut politikus Partai Golongan Karya tersebut, belum tuntasnya revisi beleid yang digagas sejak 2016 lantaran belum satu suaranya pemerintah terkait beberapa poin dalam UU tersebut.

"Padahal, kita sama-sama tahu dan paham bahwa DPR tidak bisa membuat undang-undang tanpa pemerintah, tidak bisa kita berjalan sendiri, dan semua tergantung pada dinamika internal pemerintah itu sendiri. Mohoh maaf ini bukan curhat, tapi baper saya sebagai ketua DPR," ujar Bambang.

Anggota Panitia Khusus Revisi UU Antiterorisme Arsul Sani meminta rapat pembahasan yang digelar pekan depan langsung memfinalisasi definisi terorisme. Saat ini, kata Arsul, tersisa dua opsi definisi terorisme.

Faksi pertama mendukung frasa motif politik, ideologi dan ancaman keamanan negara dimasukkan dalam batang tubuh UU. Sedangkan, faksi kedua mendukung frasa tersebut dituangkan dalam bab penjelasan. "Semestinya kalau rapat kita tidak membahas lagi, tetapi kita menyepakati opsi mana yang akan dipergunakan," ujar Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (18/5).

Adapun fraksi partai pendukung pemerintah pascarapat dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto pekan lalu telah menyepakati agar frasa motif politik, ideologi, dan ancaman keamanan negara tidak dimasukkan ke dalam pasal, tetapi menempatkannya di dalam bab penjelasan umum.

Sementara, fraksi di luar pemerintahan sejauh ini menyepakati frasa definisi tersebut dimasukkan dalam pasal UU. Namun, Arsul berharap, opsi tersebut bisa disepakati melalui musyawarah mufakat di tingkat pansus sehingga bisa segera disahkan pekan berikutnya dalam rapat paripurna. "Karena, memang tidak ada perbedaan substansi di situ, cuma perbedaan penempatan saja," katanya.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berharap revisi UU Antiterorisme dapat segera disahkan. "Ya, itu yang kita harapkan. Rabu (23 Mei 2018) masih pembukaan masa sidang, tapi langsung kita akan komunikasikan," ujarnya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (18/5).

Yasonna memastikan, definisi terorisme yang selama ini jadi kendala penyelesaikan revisi beleid itu sudah tuntas.

Sosiolog dari Universitas Nasional Jakarta Nia Elvina meminta DPR dan pemerintah tidak terburu-buru dalam menyelesaikan revisi UU Antiterorisme. Menurut dia, pemerintah harus mengkaji urgensi revisi beleid tersebut.

"Dan, dampaknya terhadap hak-hak sipil," ujar Nia, kemarin.

Baca Juga: Jokowi: Ideologi Teroris Sudah Masuk ke Dalam Sendi Keluarga

(ronggo astungkoro/mabruroh, Pengolah: muhammad iqbal)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement