Kamis 17 May 2018 17:35 WIB

Teror Dianggap Rekayasa Persulit Pemberantasan Terorisme

Strategi teroris memanipulasi masyarakat sehingga mereka percaya kasus teror rekayasa

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi penangkapan teroris.
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Ilustrasi penangkapan teroris.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Aksi teror yang dianggap sebagai rekayasa oleh sebagian masyarakat justru kontraproduktif dalam upaya pemberantasan terorisme. Anggapan tersebut menghambat pemerintah dalam pemberantasan terorisme. 

Menurut Direktur Yayasan Lingkar Perdamaian Ali Fauzi, penghalang utama pemberantasan terorisme adalah beragamnya perspektif masyarakat Indonesia tentang aksi teror. “Sebagian masih meyakini aksi terorisme di Indonesia sebuah rekayasa, operasi intelijen, pengalihan isu, dan lain-lain," kata Ali di Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta Selatan, Kamis (17/5).

Adik kandung dari terpidana bom Bali, Amrozi, ini mengatakan, munculnya anggapan tersebut merupakan keberhasilan teroris. Dia mengatakan, salah satu strategi teroris memanipulasi masyarakat sehingga mereka beranggapan kasus teror adalah rekayasa. 

Dia mengatakan, beberapa kelompok teroris memang sengaja memanfaatkan kondisi negara ketika melangsungkan aksi teror agar masyarakat beranggapan hal tersebut merupakan pengalihan isu. Karena itu, dia mengajak masyarakat untuk mengubah pola pikir atau mindset bahwa terorisme berbahaya. 

"Tentu harus diberi pengetahuan bahwa terorisme berbahaya dan ada," kata Ali menegaskan.

Ali juga menjelaskan akar terorisme tidak tunggal karena ada banyak hal yang saling berkaitan di dalam perilaku terorisme. Karena itu, penanganannya juga harus melibatkan berbagai hal seperti ekonomi dan ideologi.

Menurut Ali, deradikalisasi merupakan hal yang penting dilakukan, baik bagi para pelaku yang sudah dicuci otaknya maupun mantan teroris yang berusaha keluar dari jeratan kelompok mereka sebelumnya. Ali mengatakan, pemerintah juga harus melakukan upaya bagi mereka yang sudah terpapar paham radikalisme.

Untuk mereka yang terpapar radikalisme, pemerintah harus bisa mengubah jalan pikiran mereka. "Tentu harus ada produk dari pemerintah yang berbasis afirmasi diri, mengubah mindset dan ideologi mereka,” ujar dia.

Dia menambahkan, yang paling penting adalah bagaimana mengubah orang-orang yang benci dengan polisi ini menjadi cinta. “Yang dulu menganggap polisi lawan sekarang kawan," kata dia menjelaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement