Kamis 17 May 2018 06:40 WIB

TNI Hanya Dilibatkan Saat Negara dalam Situasi Kritis

Keterlibatan TNI dalam antiterorisme diperinci dengan perpres.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Prajurit TNI
Prajurit TNI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Fraksi PPP, Arsul Sani, mengungkapkan, Pansus Rancangan Undang-undang (RUU) Terorisme yang menjadi revisi atas UU 15/2003 telah bersepakat bahwa TNI perlu dilibatkan dalam penanggulangan terorisme. Namun, TNI hanya akan dilibatkan saat negara berada dalam situasi kritis.

"Misalnya dalam kondisi di mana pemerintah menganggap skala ancamannya sudah kritis, gawat karena serangan teroris demikian masif, meluas. Atau, pergerakan kelompok terorisnya ada di daerah yang sulit kalau hanya polisi yang bergerak, seperti di pegunungan Poso tempo hari," ujar dia, Kamis (17/5).

Arsul menuturkan, meski Pansus sepakat soal pelibatan TNI itu, ketentuan dan mekanisme pemerinciannya tetap harus dituangkan dalam peraturan presiden (perpres). Perpres ini sebagai keputusan politik negara yang memberikan wewenang kepada presiden untuk melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.

Artinya, dengan perpres itu, presiden memiliki kewenangan menentukan kapan TNI dilibatkan menanggulangi teroris tanpa harus berkonsultasi lagi dengan DPR pada tiap kasus terorisme yang dihadapi. Tentunya, pelibatan TNI ini didasarkan pada kebutuhan yang bersifat situasional.

"Dalam perpres ini bisa saja kemudian presiden memilih untuk membentuk Koopssusgab (Komando Operasi Khusus Gabungan) sebagaimana wacana yang sedang berkembang," kata dia menerangkan.

Baca: Pansus Sepakat TNI Dilibatkan Tanggulangi Terorisme

Wacana revisi UU Terorisme kembali menyeruak ke publik setelah terjadi aksi teror di sejumlah daerah beberapa hari belakangan. Salah satu yang cukup mendapat sorotan adalah soal pelibatan TNI yang masih menimbulkan perbedaan pandangan. Khususnya, terkait skala ancaman terhadap negara yang seperti apa hingga TNI bisa terlibat.

Selain itu, hal yang juga disorot adalah soal kewenangan Polri dalam menindak pihak yang berencana membuat teror. Dengan UU Terorisme yang berlaku sekarang, Polri baru bisa menangkap orang yang berencana membuat teror setelah terjadi peristiwanya.

Karena itu, melalui revisi UU Terorisme, Polri diharapkan memiliki kewenangan menangkap pihak yang berencana meneror sebelum peristiwa terjadi. Namun, sebagian kalangan khawatir bila kebijakan tersebut disahkan, akan berpotensi melanggar hak asasi manusia maupun kebebasan berekspresi tiap individu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement