Rabu 16 May 2018 16:04 WIB

Pakar: Teroris Manfaatkan Medsos untuk Sebar Paham Radikal

kelompok teroris memanfaatkan secara maksimal medsos untuk proses radikal

Rep: Ali Mansur/ Red: Bayu Hermawan
ilustrasi teroris
Foto: dokumen pri
ilustrasi teroris

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Terorisme Universitas Indonesia Solahudin, menyampaikan bahwa media sosial (medsos) dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teroris di Indonesia. Menurutnya, kelompok teroris di Indonesia memanfaatkan secara maksimal medsos untuk proses radikalisasi.

"Kalangan akademisi sudah terlihat bahwa gerakan ekstrimisme menggunakan media online memang tengah nge-hits. Baik itu untuk peradikalisasian ataupun rekruitmen. Namun khusus di Indonesia, penggunaan media online oleh kelompok tersebut hanya terkait dengan upaya peradikalisasian," katanya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (16/5).

Solahudin menyampaikan berdasarkan hasil penelitiannya terhadap narapidana terorisme, sebanyak 85 persen. Di antaranya, melakukan aksi teror hanya dalam rentang kurang dari satu tahun, sejak pertama kali terpapar paham ISIS. "Kemudian saya mencoba membandingkan dengan terpidana terorisme sejak 2002 hingga 2012. Ternyata, para napiter ketika itu rata-rata memerlukan waktu 5 hingga 10 tahun, sejak pertama kali terpapar sampai dengan terlibat dalam aksi terorisme," jelasnya.

Kemudian Solahudin juga mengatakan, dirinya juga menemukan bahwa hampir semua terpidana kasus teroris itu memiliki akun sosial media. Sehingga dirinya berkesimpulan semua pelaku aksi terorisme memang memiliki keterkaitan dengan sosial media. Salah satu contoh peran media sosial mendorong percepatan peradikalisasian, terpidana terpidana teroris bernama Anggi, misalnya.

Anggi sendiri merupakan buruh migran di Hongkong, ditangkap pada Agustus 2017 karena merencanakan pemboman di Bandung, bahkan sebagai pengantinnya, dan Jakarta. Anggi itu berasal dari Klaten. Pada November 2016, Anggi masih diketahui bukanlah sosok perempuan yang agamis, bahkan tidak berhijab. Tapi, pada Desember 2016, teman-temannya mulai melihat adanya perubahan.

Selain itu Anggi juga telah meng-upload dirinya tengah di-baiat di sebuah taman di Hongkong oleh Abu Bakar al Bagdadi. Pada April 2017, Anggi ditangkap aparat Hongkong dan dideportasi ke Indonesia. Di tanah air, Anggi menjalani proses deradikalisasi selama 2-3 minggu oleh Kemensos. "Kemudian, dipulangkan ke kampungnya di Klaten. Namun sebulan kemudian, Anggi menghilang dari kampungnya. Dan pada Agustus 2017, dia ditangkap Densus 88," jelasnya.

Bagaimana hal itu terjadi, Solahudin mengungkapan, ternyata Anggi dalam kurun singkat bergabung dengan lebih dari 30 private chanel Telegram. Bahkan kemudian, kata dia, Anggi membuat chanel Telegram sendiri dan menjadi admin. Maka artinya, selama 24 jam Anggi terpapar pesan-pesan radikal sehingga proses radikalisasi ke dirinya berjalan sangat kencang.

"Inilah sebabnya sosial media sangat penting terkait radikalisasi. Bahkan, berperan sangat signifikan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement