REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil penelitian yang dilakukan The Wahid Institute menunjukan kemungkinan perempuan independen atau mandiri direkrut oleh kelompok radikal bersenjata atau teroris kecil. "Independen di sini salah satu kriterianya adalah dia ikut berperan dalam proses pengambilan keputusan," kata Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid di Jakarta, Selasa (15/5).
Anak ketiga dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid ini menjelaskan perempuan yang mampu untuk menyelesaikan masalahnya juga masuk dalam ciri-ciri independen. Yenny mengatakan dari beberapa kriteria tersebut, bisa dilihat kalau perempuan mandiri itu cenderung sulit untuk ditekan.
Selain itu, mereka juga memiliki banyak argumen serta pertimbangan. Karena itu, perempuan independen tidak bisa serta-merta diminta untuk patuh serta menuruti permintaan pihak lain tanpa alasan yang jelas.
"Makin independen perempuan, makin susah digiring sehingga ketika suaminya mengajak bergabung ke sana (ISIS), dia bisa menolak dan bisa sadarkan suami dari pengaruh teroris," kata dia.
Menurut Yenny, keterlibatan perempuan pada aksi terorisme bukan baru-baru ini saja ditemukan. "Mereka masuk jaringan sejak lama, misalnya istri Nurdin Top. Dia tugasnya merekrut orang untuk jadi "pengantin" (calon pengebom bunuh diri)," kata dia.
Selain merekrut orang baru, perempuan yang masuk dalam jaringan terorisme biasanya bertugas mencari dana. Perempuan juga menyiapkan logistik yang akan digunakan untuk melancarkan aksi mereka.
"Sekarang mereka sudah jadi eksekutor. Loyalitas dan kepatuhan yang ada pada perempuan ini dimainkan oleh teroris," tutur Yenny.