Senin 14 May 2018 16:38 WIB

Ribuan Hektare Lahan Teh di Jabar Beralih Fungsi

Dari produksi teh 120 ribu ton/tahun secara nasional, Jabar menyumbang 82 ribu ton.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Pekerja mengolah teh hitam di Pabrik Pengolahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII di Sukawana, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat (Ilustrasi).
Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Pekerja mengolah teh hitam di Pabrik Pengolahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII di Sukawana, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Produksi teh Jabar, bakal terus merosot. Penyebabnya, lahan perkebunan teh di Jabar, saat ini, cukup banyak yang beralih fungsi.

Menurut Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jabar Arief Santosa, selama lima tahun ini hampir 2.000 hektare lahan teh yang terkonvensi menjadi lahan non teh. Yakni, ada yang beralih ke kopi atau menjadi lahan holtikultura lainnya. 

Penyebab lain lahan teh berkurang karena produksi teh pucuk sulit bergerak naik. Selain itu, biaya pemiliharaannya juga mahal sehingga mereka tergiur menanam komoditas lain yang lebih menjanjikan," ujar Arief, kemarin.

Arief menjelaskan, untuk mempertahankan lahan perkebunan di Jabar, pihaknya telah melakukan berbagai upaya. Di antaranya, dengan program gerakan teh nasional yang di dalamnya ada program rehab dan intens.

Melalui program rehab, kata dia, dinasnya membantu mengisi lahan teh yang kosong. Misalnya, petani teh rakyat yang populasi lahannya 5 sampai 6 ribu orang akan diisi menjadi padat, sehingga saat panen penghasilannya naik. 

 

"Kami pun memberi bantuan pupuk pada petani agar produksinya meningkat dari 0,75 menjadi sampai 1 ton," kata 

Melalui bantuan itu, bahkan ada petani tehb poduksinya menjadi lima ton per hektare, melebihi produktivitas PTPN yang hanya dua ton. 

Terkait tingkat konsumsi teh, Arief mengatakan, saat ini memang masih rendah bila dibandingkan negara lain. Yakni, hanya sekitar 0,38 Kg per kapita pertahun. Sementara, tingkat konsumsi dunia sudah mencapai 1 kg. 

Rendahnya konsumsi teh di Indonesia, kata dia, kemungkinan terjadi karena ada sebagian orang menilai minum teh tak baik untuk kesehatan. Kondisi ini ada, karena kesalahpahaman tentang khasiat teh. 

Pada zaman Belanda, teh yang diberikan ke pribumi hanya teh yang abal-abal. Sedangkan kualitas teh yang bagus, diberikan ke penjajah. Sehingga, orang tua zaman dahulu melarang anaknya meminum teh karena tak baik untuk kesehatan.

"Padahal kalau kita meminum teh yang kualitasnya bagus maka sangat baik untuk kesehatan," katanya.

Penyebab lainnya, teh masih minim dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia karena subtitusi teh ada air putih dan minuman instan. "Melalui festival teh Jabar, kami rutin mengedukasi pada masyarakat bahwa teh itu menyehatkan," katanya.

Arief optimistis, dengan adanya tea festival akan efektif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya meminum teh. Bahkan, akan semakin banyak bermunculan komunitas anak muda yang hobi minum teh. 

"Pada 2016, gubernur pun sudah membuat surat edaran agar setiap hotel dan restoran menyajikan kopi dan teh asal Jabar," katanya.

Arief menilai, surat edaran tersebut sudah cukup efektif. Karena, setelah surat edaran tersebut ada, banyak hotel dan restoran yang tak hanya menjual kopi tapi juga teh.

"Kami pun menggandeng OPD lain untuk sosialisasi bahwa teh menyehatkan. Salah satunya, dengan Dinkes, agar mereka menyosialisasikan bahwa teh baik menyehatkan," katanya

Khusus untuk produksi teh, kata dia, secara nasional produksi teh sebanyak 120 ribu ton per tahun. Produksi di Jabar, sekitar 82 ribu ton. "Jadi, kami berkontribusi sebesar 75 sampai 80 persen terhadap produksi nasional," katanya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement