Senin 14 May 2018 05:07 WIB

Tantangan Komunitas Muslim di Masyarakat Non-Muslim

Tingkat kriminalitas di UEA paling rendah di Timur Tengah.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Pernahkan kita, sebagai Muslim, membayangkan hidup di tengah masyarakat negara-negara (mayoritas) non-Muslim? Di negara-negara yang belum ada masjid, lembaga pendidikan Islam, makanan halal, organisasi Islam, petunjuk kiblat, waktu shalat, dan sebagainya?

Banyak persoalan yang mereka hadapi. Termasuk perlakuan buruk sehari-hari akibat berbagai tuduhan negatif yang dialamatkan kepada Islam dan umat Islam. Entah itu tuduhan sebagai teroris, hidup eksklusif dan tidak bisa membaur dengan masyarakat setempat, dan seterusnya. Tuduhan-tuduhan negatif yang kemudian menjadi kebencian atau yang sering disebut sebagai Islamophobia.

Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), terdapat lebih dari 550 juta Muslim yang hidup sebagai warga negara minoritas di negara-negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Di negara-negara yang bukan anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Mereka merupakan sepertiga dari seluruh jumlah umat Islam dunia, tersebar di enam benua.

Berbagai persolaan komunitas Muslim di masyarakat negara non-Muslim itu, selama dua hari (8-9 Mei) menjadi bahasan para peserta seminar di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA). Seminar itu bertema ‘al Muktamar al ‘Alamy li al Mujtama’at al Muslimah: Mustabalu al Wujud al Islamy fi al Mujtama’at ghoiru al Muslimah alias The International Muslim Societies Congress: The Future of the Islamic Presence in Non-Muslims Societies’.

Peserta seminar lebih dari 550 orang dari 140 negara. Ada akademisi, ahli hukum internasional, politisi, tokoh media, ulama, pemimpin organisasi Islam, dan para pimpinan komunitas-komunitas Muslim dari seluruh dunia. Dari Jepang, Korea, Rusia, Vietnam, Kamboja, Thailand, Singapura, hingga dari negara-negara Afrika, Eropa, dan Amerika Latin.

Juga diundang sejumlah ahli hukum internasional dari PBB untuk memberikan pandangan mereka, terkait dengan hak-hak dan kewajiban warga negara minoritas. Terutama terkait dengan agama dan para pemeluknya.

Seminar itu sengaja tidak menggunakan istilah minoritas dan mayoritas. Dua istilah ini dipandang mengandung arti negatif. Mayoritas bisa dimaknai sebagai dominasi atau dominan. Sedangkan minoritas bisa diartikan sebagai ‘hanya bagian kecil yang tak perlu diperhatikan’. Yang digunakan adalah ‘Muslim societies atau comunities’ yang bermakna sejajar dengan ‘non-Muslim societies atau comunities’. Semua adalah warga negara yang sama. Yang berbeda hanyalah  asal-usul, suku, adat-istiadat, latar belakang, dan agama.

Seminar digagas dan diselenggarakan (juga didanai) oleh Uni Emirat Arab (UEA). Tepatnya Menteri Toleransi Sheikh Nahyan bin Mubarak Al Nahyan, yang masih keluarga penguasa Abu Dhabi. Yang menarik, di seluruh negara-negara Arab dan bahkan Timur Tengah, hanya UEA yang mempunyai Kementerian Toleransi (Wazir at Tasamuh). Padahal, penduduk asli negara kaya di Teluk ini bisa dikatakan hanya memeluk agama Islam.

Seluruh penduduk UEA sekarang berjumlah sekitar 8,3 juta jiwa. Dari jumlah ini, penduduk asli hanya 16 persen. Sejumlah 62 persen lainnya adalah orang asing yang hidup dan bekerja di UEA, termasuk dari Indonesia. Sisanya adalah orang asing yang berasilimilasi alias menjadi warga negara UEA, baik akibat pernikahan maupun oleh sebab lain.

Para warga asing berasal dari berbagai negara. Dari Sudan dan negara Arab lain, Afrika, India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, Filipina, Indonesia, hingga Amerika dan Eropa. Bahkan mungkin hampir seluruh negara ada yang warganya bekerja di UEA.

Para warga asing ini tentu punya latar-belakang yang berbeda -- suku, warna kulit, adat istiadat, dan terutama agama. Di sinilah perlunya jaminan kebebasan semua penduduk yang hidup di UEA dalam menjalankan agamanya masing-masing tanpa mengganggu yang lainnya. Di sini pula perlunya Kementerian Toleransi tadi.

Sebuah kementerian yang memastikan seluruh penduduk UEA bisa hidup harmonis tanpa gesekan. Bukan hanya antarwarga asing, tapi juga dengan penduduk asli. Sebagai catatan, tingkat kriminalitas di UEA paling rendah dibandingkan dengan seluruh negara di Timur Tengah lainnya.

Dalam pidato pembukaan seminar, Sheikh Nahyan bin Mubarak Al Nahyan menyatakan seminar ini diselenggarakan antara lain untuk menularkan harmonisasi kehidupan di UEA, terutama antarpemuluk agama yang berbeda, kepada dunia. Di antaranya dalam bentuk penguatan budaya damai dan dialog antarbangsa dan antarpemeluk agama berbeda untuk membangun peradapan dunia yang lebih baik. Ia berharap, pemerintah negara-negara komunitas non-Muslim bisa lebih menjamin hak dan kewajiban bagi komunitas-komunitas Muslim.

Ada lima agenda inti yang dibahas. Pertama, problematika komunitas Muslim di masyarakat negara-negara non-Muslim. Kedua, perlunya perubahan fikih untuk komunitas Muslim yang hidup di tengah masyarakat non-Muslim. Misalnya, loyalitas seorang Muslim apakah ke negara (masyarakatnya non-Muslim) tempat ia hidup dan beranak-pinak atau ke negara asalnya (mayoritas Muslim).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement