Senin 14 May 2018 03:01 WIB

KPPOD: Perizinan Sumber Korupsi Kepala Daerah

Terlalu banyak izin di daerah sehingga menciptakan lahan untuk suap dan korupsi.

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng (kanan)
Foto: Republika
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai banyaknya kasus korupsi yang terjadi di daerah lantaran bupati dan birokratnya memiliki kekuasaan yang besar. Salah satu sumbernya adalah perizinan.

"Di daerah itu terlalu banyak izin, sehingga menciptakan lahan-lahan untuk perburuan suap dan korupsi. Contohnya yang baru terungkap oleh KPK di Mojokerto itu," kata Direktur Eksekutif KPPOD Robert Na Endi Jaweng saat dihubungi, Ahad (13/5).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan dan menetapkan Bupati Mojokerto, Mustofa Kamal Pasa (KPK), sebagai tersangka suap dan gratifikasi.

KPK juga telah menyita puluhan aset dan miliaran uang tunai dari bupati dua periode ini.

Aset itu, di antaranya lima buah Jetski dan 20 unit mobil berbagai merek. KPK juga menggeledah 20 kantor dinas Pemda Mojokerto yang diduga menjadi sumber dari sistem koruptif yang diciptakan bupati MKP di Mojokerto.

Robert mengungkapkan selama ini masalah perizinan turut memperburuk iklim usaha di banyak daerah di Indonesia. Sebab, para pelaku usaha seringkali dipersulit untuk mendapatkan izin usahanya jika tidak mengikuti aturan main birokrat di daerah.

Sementara aturan main yang sering tidak tertulis itu cenderung keluar dari koridor good corporate governance (GCG). “Investasi di daerah itu seringkali lebih mahal karena faktor perizinan dan biaya yang tidak terduga,” kata dia.

Dia mengatakan seharusnya pemerintah daerah memperhatikan kepentingan investor, sehingga dampaknya bisa dirasakan masyarakat luas. “Bukan hanya dinikmati segelintir orang dengan mempermainkan izin," kata dia.

Menurut Robert, reformasi perizinan usaha yang ada saat ini masih sebatas desain kelembagaan dalam bentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Akan tetapi, pada praktiknya, PTSP bagaikan macan ompong di daerah. 

Sebab pelimpahan otoritas perizinan dari kepala daerah ke PTSP masih sulit dilakukan. Izin besar atau istilahnya "mata air" masih banyak ditangani kepala daerah, sementara izin-izin usaha kecil yang istilahnya lahan kering, dilimpahkan ke PTSP lewat Kemendagri atau BKPM.

Keterbukaan atau transparansi informasi di PTSP juga penting untuk diakukan. Misalnya, informasi dalam PTSP bisa diakses oleh publik, sehingga terlihat proses perizinan bermasalah atau mandek di pejabat yang mana.

Dengan informasi yang terbuka, diharapkan dapat meminimalisir peluang untuk suap dan korupsi. "Kalau PTSP masih menciptakan ruang gelap kekuasaan, tahapan perizinan usaha tidak diketahui seperti apa, dan bagaimana keputusan perizinannya, ya itu tidak akan bisa mengatasi praktik suap dan korupsi," kata Robert.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menilai sistem perizinan daerah telah menjadi lahan empuk bagi pejabat dalam melakukan korupsi. Salah satu caranya dengan mempersulit pelaku usaha melakukan ekspansi maupun pengembangan bisnis.

ICW lantas mencontohkan kasus yang melibatkan Bupati Mojokerto Mustofa Kemal Pasa (MKP). Dalam kasus ini MKP diduga telah mempersulit izin sekitar 11 perusahaan menara telekomunikasi, sehingga pelaku usaha tersebut terpaksa memberikan gratifikasi kepada Mustofa agar usahanya dapat beroperasi di Mojokerto.

"Perizinan dibuat lama dengan harapan nanti ada fee dan tip dan segala macam,” kata Firdaus Ilyas Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW.

Dia mengatakan bukan hanya investor swasta, BUMN pun jika mau masuk ke daerah dihambat. “Jadi sekarang pilihannya mengikuti cara yang berputar-putar atau bertele-tele dan lama, atau mengikuti pola permainan mereka (pejabat daerah)," kata dia.

Dalam kasus dugaan suap pembangunan menara telekomunikasi, Bupati Mustofa diduga telah menerima uang senilai Rp 2,7 miliar setelah meloloskan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan pengurusan izin prinsip pemanfaatan ruang (IPPR). Kedua izin tersebut sempat terkatung-katung selama lebih dari 2 tahun sejak para kontraktor menara-menara telekomunikasi di Mojokerto menyelesaikan proyeknya.

Selain kasus korupsi, KPK juga mengembangkan dugaan kasus lain yang melibatkan Mustofa, yakni terkait penggunaan dana desa. Pada 2017 lalu, pemerintah pusat mengucurkan dana desa Rp 236,5 miliar untuk 299 desa di Kabupaten Mojokerto. 

KPK juga tengah menyelidiki kasus jual beli jabatan sejak Mustofa mulai berkuasa tahun 2010. Sementara Mustofa juga telah ditetapkan menjadi tersangka kasus oleh Bareskrim Polri dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada 2014.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement