REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyebutkan, perwakilan dari PT Nindya Karya telah memenuhi panggilan KPK. "Terkait dengan pemanggilan korporasi Nindya Karya sebagai tersangka, pada pukul 10.30 WIB tadi telah datang tiga orang," ujar Febri saat dikonfirmasi, Jumat (11/5).
Febri menjelaskan, ketiga orang tersebut yakni Haidar dari bagian direksi PT Nindya Karya, Muhamad Ibrahim dari bagian legal PT Nindya Karya, dan Yunianto sebagai penasihat hukum PT Nindya Karya.
Sebelumnya, PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati melalui Heru Sulaksono yang merupakan Kepala PT Nindya Karya Cabang Sumatra Utara dan Aceh merangkap kuasa Nindya Sejati Joint Operation diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu perusahaan terkait pekerjaan pelaksanaan pembangunan dermaga bongkar pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, Aceh.
Proyek ini dibiayai APBN Tahun Anggaran 2006-2011 dengan nilai sekitar Rp 793 miliar. Rinciannya adalah pada 2004 senilai Rp 7 miliar (tidak dikerjakan pada 2004-2005 karena bencana tsunami Aceh tapi uang muka telah diterima sebesar Rp 1,4 miliar), pada 2006 senilai Rp 8 miliar, pada 2007 senilai Rp 24 miliar, pada 2008 senilai Rp 124 miliar, pada 2009 senilai Rp 164 miliar, pada 2010 senilai 180 miliar dan pada 2011 senilai Rp 285 miliar.
"Diduga terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp 313 miliar dalam pelaksanaan proyek pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/4).
"Dua korporasi ini diduga mendapat keuntungan sejumlah Rp94,58 miliar yang berisiko tidak dapat dikembalikan ke negara jika korporasi tidak diproses," ungkap Laode.
Dugaan penyimpangan secara umum adalah dengan cara penunjukan langsung, Nindya Sejati Joint Operation sejak awal diarahkan sebagai pemenang pelaksana pembangunan dan rekayasa dalam penyusunan HPS dan penggelembungan harga (mark up). Pekerjaan utama disubkontrakkan kepada PT Budi Perkara Alam (BPA) dan adanya kesalahan prosedur seperti izin Amdal belum ada tapi tetap dilakukan pembangunan.