Kamis 10 May 2018 22:35 WIB

Pertimbangan Kapolri Hingga Akhirnya Keluarkan Ultimatum

Saat napi merampas senjata, Tito menginstruksikan lakukan pengepungan

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Bilal Ramadhan
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (tengah) memberikan keterangan usai meninjau lokasi kerusuhan antara narapidana dan petugas kepolisian di Rutan cabang Salemba, Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (10/5).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (tengah) memberikan keterangan usai meninjau lokasi kerusuhan antara narapidana dan petugas kepolisian di Rutan cabang Salemba, Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Kamis (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Saat awal terjadi kerusuhan di Rumah Tahanan Markas Korps Brimob Kelapa Dua, Depok, Selasa (8/5) malam Kapolri Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian sedang berada di Jordania dalam rangka menghadiri undangan raja Yordan. Namun akhirnya, Kapolri tiba ke Mako Brimob pada Kamis (10/5) petang.

Tito mengaku, ia yang mendapat kabar situasi keamanan pada Selasa malam langsung berkoordinasi dengan Kepala Densus Antiteror 88 Irjen Pol M Syafii dan Komandan Korps Brimob Irjen Pol Rudy Sufahriadi yang sudah ada di lokasi kerusuhan dan penyanderaan. Tito pun menyampaikan pada Wakapolri Komjen Syafruddin, Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto dan Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Azis untuk memimpin langsung operasi bersama jajaran lainnya.

"Kita menyesalkan ada peristiwa kekerasan terhadap anggota Densus 88 sehingga akibatkan lima orang gugur dan kemudian satu sempat disandera hidup," ujar Tito di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Kamis (10/5) petang. Satu teroris ditembak dalam peristiwa kericuhan awal tersebut pada Selasa malam.

Kemudian saat itu, lanjut Tito, para napi teroris merampas senjata. Tito pun memberi instruksi untuk segera melakukan perimeter pengepungan.

 

"Dengan kekuatan cukup besar saya tanya di dalam lebih kurang ada 125 orang dan kemudian ada satu bayi di dalam. Anggota yang disandera ada satu yang masih hidup dan kemudian jumlah anggota yang kepung hampir 800 sampai 1000 orang. Saya anggap cukup itu," kata Tito.

Tito pun melaporkan kepada Presiden RI Joko Widodo dan mendapatkan instruksi tidak boleh kalah dengan terorisme sehingga Tito langsung melakukan pertimbangan opsi. Saat itu opsi yang ada adalah langsung masuk menyergap para teroris yang melakukan penyanderaan atau memberi peringatan dulu.

"Kenapa? Karena kita tahu di dalam kelompok semua ada pro-kontra. Ada yang dukung kekerasan ada yang tidak ingin. Itu yang menjadi opsi kita agar jangan sampai ada korban yang banyak padahal ada yang tidak ingin lakukan kekerasan," kata Tito menjelaskan.

Akhirnya diputuskan untuk berikan ultimatum terlebih dahulu pada 155 napiter yang melakukan penyanderaan. Ultimatum diberikan waktu hingga Kamis dini hari. Dilanjutkan dengan operasi sterilisasi.

"Jadi sepanjang malam warning sudah disampaikan, dan kemudian alhamdulillah satu sandera anggota Polri, Brigadir Iwan Sarjana jam 12 malam (Rabu) itu dilepas oleh mereka dan besok paginya mereka kemudian keluar menyerahkan diri," kata Tito.

Kepolisian mengklaim, hal tersebut bukan negosiasi melainkan buah ultimatum pada para napiter. Kamis pagi hari, aparat meledakkan bom rakitan para napiter. Operasi diklaim berhasil tanpa korban tambahan. 155 napiter pun dipindahkan ke Lapas Nusakambangan.

Sebelumnya, kejadian bermula saat Selasa (8/5) petang, terjadi keributan antara napiter dan petugas. Polisi menyebut hal ini karena miskomunikasi soal makanan napi yang dikirim pengunjung.

Namun, kericuhan justru terjadi dimana sembilan petugas menjadi korban. Lima petugas tewas, tiga terluka, satu disandera. Satu korban sandera bebas pada Rabu (9/5) tengah malam.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement