Selasa 08 May 2018 20:15 WIB

DPR Tinjau Pelaksanaan Peraturan Kepariwisataan di NTB

Setiap daerah memiliki karakteristik dan persoalan yang berbeda.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Agus Yulianto
Kementerian Pariwisata, Pemprov NTB, dan Pemkab Dompu bersama-sama menutup acara Festival Pesona Tambora 2018 di Doro Ncanga, Kabupaten Dompu, NTB, belum lama ini (Ilustrasi)
Foto: dok. Dinas Pariwisata NTB
Kementerian Pariwisata, Pemprov NTB, dan Pemkab Dompu bersama-sama menutup acara Festival Pesona Tambora 2018 di Doro Ncanga, Kabupaten Dompu, NTB, belum lama ini (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Pariwisata menjadi salah satu program prioritas Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Keindahan alam dan sejumlah destinasi wisata di NTB, terutama di Pulau Lombok kini menjadi tujuan bagi para pelancong dunia. 

 

Hal ini yang menjadi atensi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meninjau perkembangan sektor pariwisata dalam segala hal. Termasuk aspek pelaksanaan undang-undang nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan.

 

Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-undang dari Badan Keahlian DP, Rudi Rochmansyah mengatakan, rombongan yang ia bawa ke Lombok ini terdiri atas tim ahli dan perundang-undangan DPR yang bertugas memberi dukungan dan mencari tahu apakah UU nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan sudah berjalan optimal di NTB. 

 

"Apakah UU ini impelementatif atau belum dapat dilaksanakan optimal. Kami ingin tahu, apa karena persoalan UU-nya atau persoalan di tataran implementasi," ujar Rudi saat beraudiensi dengan para pelaku industri wisata NTB di Kantor BPPD NTB, Jalan Langko, Mataram, NTB, Selasa (8/5).

 

Pemantauan dilakukan secara bertahap di sejumlah daerah. Sebelum menyambangi NTB, rombongan telah beraudiensi dengan sejumlah pelaku industri wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sumatera Barat (Sumbar), dan juga Bali. 

 

Rudi menilai, setiap daerah memiliki karakteristik dan persoalan yang berbeda. Di Yogyakarta, tim pemantauan pelaksanaan perundang-undangan menyoroti Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) di tingkat Kota Yogyakarta, namun belum terbentuk BPPD di tingkat provinsi DIY. Sedangkan di NTB, BPPD NTB justru tengah dalam polemik lantaran terjadi dualisme kepemimpinan. 

 

Rudi menyebutkan, pemilihan ketua dan wakil ketua BPPD seharusnya mengacu pada peraturan perundang-undangan, di mana pemerintah daerah, dalam hal ini kepala daerah sebatas membentuk sembilan orang yang merupakan perwakilan dari asosiasi pariwisata, penerbangan, hingga pakar akademis sebagai anggota BPPD dan ditetapkan dengan keputusan gubernur/bupati/wali kota untuk masa tugas selama empat tahun. 

 

Selanjutnya, tim sembilan ini melakukan musyawarah untuk mufakat hingga voting dalam menentukan ketua dan wakil ketua BPPD. "Kalau sudah terbentuk ditetapkan dengan SK gubernur," ucapnya. BPPD, lanjutnya, juga wajib berkoordinasi dengan Badan Promosi Pariwisata Indonesia.

 

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB Lalu Hadi Faesal mengatakan, dirinya ditunjuk tim sembilan sebagai Ketua BPPD NTB, melalui sistem voting lantaran tidak mencapai mufakat dalam musyawarah. Namun di sisi lain, terdapat ketua dan wakil ketua BPPD versi lain dengan mekanisme pemilihan yang berbeda. 

 

"Sembilan anggota telah bertemu dan musyawarah 28 maret dan hasilkan kepengurusan dari BPPD. Kita mengacu kepada UU, untuk melakukan pemilihan ketua (BPPD) dengan musyawarah namun tidak bisa selesai, maka voting," kata Hadi. 

 

Meski sudah menjalankan UU terkait pemilihan ketua dan wakil ketua BPPD NTB, Hadi mengaku belum mendapatkan surat keputusan dari kepala daerah. Dia menilai, kondisi ini sangat penting dalam menjalankan setiap program untuk mempromosikan NTB lebih luas ke depan. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement