REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku kecewa terhadap praktik korupsi yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan. Karena, menurutnya, hal tersebut mencederai reformasi tata kelola dan upaya mewujudkan transparansi.
"Tertangkapnya YP telah membunyikan alarm yang sangat keras, bahwa yang dilakukan YP adalah nyata merupakan praktik makelar anggaran. Saya tekankan bahwa penangkapan YP sangat mengecewakan dan memprihatinkan kita semua," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (7/5).
Sri Mulyani mengatakan, bahwa YP yang ditangkap oleh KPK adalah Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Negara. Menkeu menjelaskan, bahwa jabatan YP sebetulnya tidak ada hubungan dengan pengalokasian anggaran ke daerah.
Menanggapi kasus tersebut, Sri Mulyani menegaskan bahwa pihaknya berusaha membersihkan Kementerian Keuangan dari praktik makelar anggaran. Sri Mulyani juga menyatakan dukungan terhadap langkah KPK menindak upaya gratifikasi kepada penyelenggara negara.
"Banyak prosedur kami ubah menggunakan teknologi informasi, sehingga interaksi dan pertemuan antara kementerian lembaga, pemerintah daerah, atau instansi lain dalam pengurusan anggaran tidak perlu dilakukan perseorangan," kata dia.
Sri Mulyani mengaku telah mengintroduksi proses bisnis yang lebih terbuka dan transparan serta mengurangi interaksi dalam pengurusan keuangan negara.
"Namun ternyata masih ada oknum di Kemenkeu yang melihat adanya suatu kesempatan untuk menjadi makelar anggaran. Kami akan evaluasi dari sisi tata kelola, bisnis proses, dan tingkah laku pegawai di Kemenkeu," ucap dia.
KPK telah menahan empat tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap pembahasan Dana Perimbangan Keuangan Daerah pada Rancangan APBN-Perubahan 2018. Keempat tersangka yaitu anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat Amin Santono, pihak swasta sekaligus perantara Eka Kamaluddin, Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Yaya Purnomo, dan pemberi suap Ahmad Ghiast.
KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada keempatnya pada Jumat (4/5) malam di Jakarta dan Bekasi. Amin diduga menerima Rp 400 juta sedangkan Eka menerima Rp 100 juta yang merupakan bagian dari commitment fee sebesar Rp 1,7 miliar atau 7 persen dari nilai dua proyek di Kabupaten Sumedang dengan total Rp 25 miliar.