REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Organisasi masyarakat (ormas) Islam dan Gerakan Nasional Penyelamat Fatwa Ulama (GNPF-Ulama) Bukttinggi sepakat menempuh jalur hukum untuk menindaklanjuti kebijakan pembatasan penggunaan cadar di dalam kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. Perwakilan ormas Islam sekaligus Ketua Front Pembela Islam (FPI) Sumatra Barat, Buya Busra Khatib Alam, menyebutkan kesepakatan ini telat dirembukkan oleh ulama, pimpinan ormas, dan aktivis Islam di Sumatra Barat.
"Kami sudah sediakan pengacara Muslim. Dalam waktu dekat kota polisikan Rektor IAIN Bukittinggi," jelas Buya Busra, Ahad (29/4).
Langkah hukum ini merupakan buntut buntunya dialog yang sempat dilakukan antara perwakilan ormas Islam dan IAIN Bukittinggi. Pihak kampus masih kukuh menjalankan kebijakannya untuk membatasi penggunaan cadar di lingkungan akademik. Selain itu, Dosen Hayati juga masih nonaktif mengajar sebagai konsekuensi atas keputusannya mengenakan cadar di kampus.
Buya Busra merinci, sejumlah poin yang melatari laporan ke polisi adalah kebijakan kampus terkait pembatasan penggunaan cadar yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya, mengenakan cadar adalah hak bagi seorang muslimah dalam menjalankan keyakinanya.
"Nanti saya rinci lagi ini masih konsultasi dengan pengacara Muslim kami," jelas Buya Busra.
Dr Hayati Syafri, dosen IAIN Bukittinggi yang nonaktif mengajar lantaran keputusannya bercadar. (Republika/Sapto Andika Candra)
Ombudsman RI Perwakilan Sumatra Barat berencana memanggil Rektor IAIN Bukittinggi pada Senin (30/4) besok. Pemanggilan ini untuk menyampaikan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) terkait dugaan maladministrasi dalam kebijakan sanksi kode etik dan disiplin pegawai terhadap Hayati Syafri, dosen yang diminta libur mengajar karena keteguhannya dalam mengenakan cadar.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Ombudsman Perwakilan Sumbar, Adel Wahidi, menyebutkan dalam LAHP dicantumkan beberapa tindakan korektif, bila memang disimpulkan pihak Rektorat melakukan tindakan maladministrasi. Sejumlah tindakan korektif tersebut harus disikapi oleh pihak kampus selama 30-60 hari ke depan.
"Itu kalau memang disimpulkan ada maladministrasi ya. Kalau benar begitu, nama Dosen Hayati harus dipulihkan," ujar Adel.
Adel mengaku belum bisa membeberkan detil kesimpulan yang dituangkan dalam LAHP. Sesuai prosedur, Ombudsman harus menyampaikan langsung konten LAHP kepada Rektor IAIN sebelum nantinya disampaikan kepada publik.
Polemik cadar di IAIN Bukittinggi sendiri belum usai sepenuhnya. Pihak kampus masih kukuh dengan pendiriannya dalam menjalankan kode etik akademik, termasuk membatasi penggunaan cadar di dalam lingkungan akademik. Dosen Hayati sampai saat ini masih menjalani 'sanksi' berupa penonaktifan untuk mengajar selama semester genap tahun ajaran 2017/2018.
Sementara itu, Hayati mengatakan sedang menyiapkan langkah hukum untuk memperjuangkan peluang baginya untuk kembali mengajar di semester baru tahun ajaran 2018/2019. Meski nonaktif mengajar, Hayati masih rajin menyambangi kampus untuk mengisi absensi sekaligus berinteraksi dengan mahasiswa.
"Belum ada perubahan dari kampus. Ummi saat ini berharap bisa mengajar semester depan. Jadi saat ini dibantu oleh advokat," jelas Hayati.
Edaran yang berisikan imbauan bagi civitas akademika IAIN Bukittinggi untuk tidak mengenakan cadar.