REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai, jika poros ketiga jadi terbentuk maka hal itu bisa menyebabkan pemilihan presiden (Pilpres) 2019 berlangsung dalam dua putaran. Sebab, menurut aturan apabila ada tiga pasang calon, maka harus mendapat perolehan suara 50 persen plus 1 untuk menang satu putaran.
"Kalau tidak, Pilpres diulang atau diadakan putaran kedua yang diikuti peringkat pertama dan kedua. Kondisi ini seperti Pilkada Jakarta pada tahun lalu," ujarnya Adi ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (24/4).
Adi melanjutkan, Jika terjadi dua putaran, siapapun bisa berpotensi kalah dan menang, tidak tergantung pada elektabilitas masing-masing calon yang sudah keluar sejak beberapa bulan lalu. Selain itu, menurutnya jika Pilpres berlangsung dalam dua putaran hal ini akan mengkhawatirkan terutama bagi Capres pejawat.
Capres pejawat akan 'dipaksa' bermain panjang kalau memang ada poros alternatif, sehingga lebih menyedot energi dan emosi. "Kalau tidak hati-hati, ia bisa tergelincir. Hal ini terjadi pada Ahok yang kemarin sudah populer, kinerja dianggap bagus tapi akhirnya kalah dengan lawan," ucap direktur eksekutif Parameter Politik Indonesia tersebut
Di sisi lain, keberadaan poros ketiga memperlihatkan bahwa demokrasi di Indonesia berjalan secara efektif. Masyarakat akan diperlihatkan calon-calon alternatif yang akan menduduki posisi pemimpin, tidak tertutup pada Jokowi maupun Prabowo.
Isu poros ketiga kembali menguat ketika Presiden PKS Sohibul Iman bertemu dengan dengan Wakil Ketua Umum Demokrat Syarief Hasan di DPP PKS pada Selasa (17/4) yang membahas kemungkinan poros ketiga. Isu semakin kencang ketika Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberi sinyal poros baru pada Pilpres 2019.