Kamis 19 Apr 2018 17:19 WIB

Mensos Targetkan 2019 Indonesia Bersih dari Lokalisasi

Sebanyak 20.000 pekerja seks komersial (PSK) dikembalikan kepada keluarganya.

Rapat Koordinasi Nasional Penanganan Prostitusi dan Supporting Penutupan Lokalisasi, di Jakarta, Kamis (19/4).
Foto: Dok: Humas Kementerian Sosial
Rapat Koordinasi Nasional Penanganan Prostitusi dan Supporting Penutupan Lokalisasi, di Jakarta, Kamis (19/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada periode 2014-2017, Kementerian Sosial telah menutup 122 dari 136 lokalisasi prostitusi di sejumlah provinsi. Sebanyak 20.000 pekerja seks komersial  (PSK) dikembalikan kepada keluarganya.

Menteri Sosial Idrus Marham menyatakan, prostitusi merupakan persoalan sosial yang berdampak luar biasa bagi masyarakat. Di lokalisasi, menjadi tempat eksploitasi manusia, perdagangan orang dan berbagai praktik menyimpang lainnya.

"Oleh karena itu, Kementerian Sosial akan terus melanjutkan program penutupan lokalisasi. Targetnya, tahun 2019 Indonesia bebas dari lokalisasi prostitusi," kata Mensos, dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Penanganan Prostitusi dan Supporting Penutupan Lokalisasi, di Jakarta, Kamis (19/4).

Yang tak kalah penting adalah bagaimana tindak lanjut dari penutupan lokalisasi yang dilakukan pemerintah. Mensos melihat pentingnya Kemensos melakukan sinergi dengan kementerian dan lembaga lain.

Sebab, setelah lokalisasi ditutup, ada sejumlah tindakan lanjut yang harus dilakukan. "Seperti  bagaimana menyiapkan kemampuan vokasionalnya, kesiapan sosial, psikologisnya, dan sebagainya. Ini yang perlu dikoordinasikan bersama," kata Mensos.

Tak lupa Mensos mengingatkan agar keputusan penutupan juga perlu mengkalkulasi dampak sosial ekonomi bagi warga yang menggantungkan hidupnya dari lokalisasi prostitusi, dan harus kehilangan mata pencaharian setelah penutupan.

Belum lagi adanya migrasi para pekerja seks komersial (PSK) dari satu lokalisasi yang sudah ditutup ke lokasi lain.

"Pada beberapa kasus, PSK dari satu lokalisasi yang ditutup berpindah ke lokalisasi lain," kata Mensos.

Mensos secara terbuka memuji langkah Pemerintah Kota Surabaya yang dipimpin Tri Rismaharini dengan menutup lokalisasi Dolly. Selain karena Dolly adalah lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, juga langkah-langkah Risma menangani pasca-penutupan.

"Bu Risma menyediakan sarana dan pelatihan agar mantan PSK bisa mandiri. Bu Risma mengubah bekas lokalisasi menjadi rumah kreativitas. Lokasinya ada di rumah itu, dan kreativitas itu juga menjadi sumber pendapatan. Sehingga harkat dan martabat mereka bisa kembali," kata Mensos.

Kemensos sendiri selama ini ada jatah hidup (jadup) yang diberikan kepada mantan PSK yang lokalisasi tempat dia bekerja ditutup. "Kalau selama ini hanya selama tiga bulan. Enggak cukup. Kita perpanjang menjadi enam bulan," kata Mensos.

Pada bagian lain, Risma menyatakan prostitusi menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa. Dalam kasus di Dolly banyak anak-anak yang terkena dampak. Selain proses belajarnya terganggu, juga banyak ditemukan mereka terseret dalam praktik prostitusi apakah menjadi PSK atau mucikari.

"Ada anak usia 14 tahun menjadi mucikari, anak umur 16 dan 17 tahun. Anak-anak usia sekolah di Dolly juga tidak bisa belajar karena lingkungannya sangat berisik," kata Risma.

Di Jawa Timur semula terdapat 54 lokalisasi prostitusi, dan kini semua sudah ditutup. Data Kemensos menunjukkan, masih ada sekitar 20.000 orang PSK yang menghuni 43 lokalisasi dan tersebar di sejumlah daerah.

Hadir dalam acara ini sejumlah kepala daerah seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini, para kepala dinas sosial provinsi dan undangan dari beberapa kementerian/lembaga terkait.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement