REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Elektablitas Joko Widodo (Jokowi) satu tahun sebelum pemilihan presiden (pilpres) 2019 yang berkutat pada angka 36,2 persen termasuk kritis. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Reni Suwarso, menilai hal tersebut karena serangan dari oposisi.
Menurut Direktur Center for Election and Political Party FISIP UI itu, banyak serangan yang ditujukan kepada Jokowi sehingga menyebabkan elektabilitasnya tidak naik signifikan. Termasuk di antaranya di bidang ekonomi dan agama yang belakangan ini menjadi topik panas di tengah masyarakat Indonesia.
Reni menjelaskan, posisi Joko Widodo (Jokowi) sebagai pejawat seharusnya bisa meraih elektabilitas yang lebih tinggi. Dia pun membandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika berposisi pejawat pada pilpres 2019.
Dia mengatakan, pencapaian Jokowi lebih kecil dibandingkan persentase SBY ketika berstatus pejawat pada pilpres 2009. Dia menambahkan, perbedaan persentase tersebut karena kondisi Jokowi dan SBY pada sembilan tahun lalu tidak sama.
Dia menerangkan, ada perbedaan situasi politik. "Dulu SBY di-support dan pihak oposisi tidak bermain kotor. Sekarang, Jokowi terlihat dengan jelas diserang dari berbagai arah," ujar Reni ketika dihubungi Republika, Selasa (17/4).
Dalam menghadapi kondisi ini, Reni menganjurkan agar Jokowi tidak terlalu mengusik serangan dari berbagai arah. Sebagai pemimpin negara, Jokowi sepatutnya tetap fokus menjalankan tugas dan amanat dari rakyat Indonesia. "Lawan serangan dengan bukti, bukan janji. Masyarakat kita sudah terlalu lelah dengan janji dan jargon-jargon," ucap Reni.
Tidak hanya pihak Jokowi, upaya yang sama juga harus dilakukan oleh pihak lain. Reni mengatakan, elite politik lain tidak sepatutnya menjatuhkan lawan dengan cara kotor, termasuk melibatkan isu-isu sensitif seperti agama.
Partai politik juga seharusnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi isu yang beredar.
Lembaga survei Median memperlihatkan elektabilitas Jokowi dalam pilpres 2019 berkutat di angka 36,2 persen, naik sekitar 1,2 persen dibanding dua bulan lalu.