Senin 16 Apr 2018 05:05 WIB

Membaca ‘Il Principe’ karya Machiavelli di Tahun Politik

Karya Machiavelli ini dianggap tak semenarik main medsos.

Machiavelli.
Foto: wikpedia.org
Machiavelli.

Oleh: Muhammad Subarkah*

Bagi yang suka politik bisa jadi politik itu main-main, bahkan diidentikan dengan ‘seni mencapai tujuan’. Namun orang seperti Winston Churchil pernah mendampat habis para politisi. Menurutnya politisi orang yang bisa ‘berlidah sejuta’. Dia bisa berjanji tentang apa saja serta berkilah apa saja. Churchil mencontohkan bahkan bila seorang politis berjanji dalam tiga bulan bisa mewujudkan dibangunnya sebuah jembatan, tapi ketika masa tiga bulan sudah dilewati dan jembatan tidak terbangun, maka politisi pasti punya ‘alasan’ mengapa jembatan itu tidak terbangun. Layaknya lagu klasik Ismail Marzuki ’Tinggi Gunung Seribu Janji’ semua gampang diucapkan oleh lidah yang memang tak bertulang.

Nah, di tengah suasana tahun politik dan menjelang pelaksanaan pilkada menjadi ‘nikmat’ untuk membaca kembali buku klasik karya Niccolò Machiavelli: Il Principe. Edisi buku ini dalam bentuk PDF tersebar di dunia maya, meski terkesan jarang dibaca orang. Membaca buku serius bagi banyak orang tetap dianggap tak menarik, lebih yahud main Facebook atau media sosial lainnya,

Dalam pengantar buku itu yang diulas oleh M Sastrapratedja & M Parera, dinyatakan buku il Principe (Sang Penguasa) yang ditulis oleh Machiavelli  itu bertolak dari profil dan pola manajemen kekuasaan semasa Cesare Borgia, di Florence, Italia. Cesare Borgia, putra sulung Alexander VI hasil perkawinan dengan Vannoza de Cataneis. Buku yang dialihbahasakan oleh C Woekirsari dan diterbutkan oleh PT Gramedia tahun 1997 itu terdiri 26 chapter.Buku Il Prince di tulis pada selama tujuh tahun, yakni 1512-1519. Dalam kata pengantarnya, buku ini termasuk salah satu buku yang disebut- sebut punya kontribusi dalam proses perubahan dunia seperti kita saksikan sekarang terutama dalam membangun kultur politik pada masa modern ini.

photo
Buku asli Il Principe, karya Nicolo Machiavelli.

Bahkan kisah ini sejatinya juga sudah pernah dilakukan di jaman kerajaan Mataram Jawa. Dalam catatan kaki kata pengantar dengan mengutip disertasi Dr Soemarsaid Moertono, ‘Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX,  diterbitkan Yayasan Obor Indonesia tahun 1985.

Begini tulis Soemarsaid:

"Pada tahun  1512  ketika Machiavelli mulai memaparkan pandangan pandangannya tentang kekuasaan penguasa negara yang sudah dicopot perlengkapan magis-religius karena sudah masuk dalam proses sekularisasi kekuasaan, jejak-jejak terakhir Majapahit menghilang dari peredaran sejarah.

Kesultanan Malaka yang menjadi pusat penyebaran  agama Islam ke Indonesia baru saja direbut oleh Portugis tahun 1511). Dalam Abad XVII Amangkurat I, pengganti Sultan Agung (1613-1645), merasa terancam karena perlengkapan magis religius kekuasaannya digerogoti oleh prinsip egalitarianisme Islam, yang diperkenalkan oleh guru-guru Islam. Raja itu memerintah untuk membunuh ratusan guru Islam (membakar pesantren di sepanjang tepian Bengawasan Solo hingga Gresik,red) beserta keluarganya demi mempertahankan perlengkapan magis-religius kekuasaannya".

photo
Prasasti di Gresik. (Foto: Collectie troppenmusseum)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement