Senin 16 Apr 2018 05:05 WIB

Membaca ‘Il Principe’ karya Machiavelli di Tahun Politik

Karya Machiavelli ini dianggap tak semenarik main medsos.

Machiavelli.
Foto:
Lukisan Caesare Borgia lagi meninggalkan Vatikan.

                                                           ******

Lalu apa yang menarik hingga buku Il Principe ’nikmat’ dibaca. Ya, salah satunya adalah terdapat dalam bab ke  XVIII, 'Bagaimana Raja Harus Setia Memegang Janji'. Raja dimaksudkan kala itu dengan masa sekarang sebagai pelaku atau pekerja politik (politisi).

Atau sesosok orang yang  disebut Presiden Prancis masa kini, Emmanuel Macron, politisi adalah mereka yang mengambil politik sebagai pekerjaan bukan sebagai panggilan nurani untuk kebaikan sesama dan negara. Akibatnya, wajar bila politisi sering dianggap pejoratif’ sebagai sosok orang yang melakukan segala cara. Padahal sejatinya sejak zaman Aristoteles politik adalah hal mulia.

photo
Buku Il Principe. (foto:flickr)

Tapi baiklah berikut ini kutipan tulisan dalam bab ke XVIII buku 'Il Principe itu':

Setiap  orang menyadari betapa terpuji kesetiaan dan sifat terbuka seorang pemimpin daripada sifat berbelit-belit dalam  segala tindakannya. Namun pengalaman sekarang ini menunjukkan bahwa  para raja yang telah berhasil melakukan hal-hal yang besar adalah mereka yang menganggap gampang atas janji- janji mereka, mereka yang tahu bagaimana memperdayakan orang dengan kelihaiannya dan yang akhirnya menang terhadap mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran.

Anda hendaknya tahu, bahwa ada dua cara berjuang: melalui hukum atau melalui kekerasan. Cara pertama merupakan cara yang wajar bagi manusia dan yang kedua adalah cara bagi binatang. Tetapi karena cara pertama kerap kali terbukti tidak memadai, orang lalu menggunakan cara kedua. Dengan demikian seorang raja harus tahu bagaimana menggunakan dengan baik cara-cara binatang dan manusia.

Para penulis kuno mengajarkan kepada para raja mengenai alegori ini, yaitu waktu menguraikan bagaimana Achilles dan banyak raja lainnya dari zaman kuno dikirim untuk dididik oleh Chiron, manusia berkepala binatang, supaya mereka dilatih dengan cara ini.

Arti alegori ini ialah,dengan menjadikan guru itu setengah manusia dan setengah binatang, seorang raja harus mengetahui bagaimana bertindak menurut sifat dari baik manusia maupun binatang dan ia tidak akan hidup tanpa keduanya. Dengan demikian, karena seorang raja terpaksa mengetahui cara bertindak seperti binatang, ia harus meniru rubah dan singa;  karena singa tidak dapat membela diri sendiri terhadap perangkap dan rubah (serigala,red) tidak dapat membela diri terhadap serigala.

Karena itu orang harus bersikap seperti rubah untuk mengetahui adanya perangkap dan  seperti singa untuk menakuti serigala. Mereka yang hanya ingin bersikap seperti singa adalah orang  bodoh. Sehingga, seorang penguasa yang bijaksana tidak harus memegang janji kalau dengan demikian ia akan merugikan diri sendiri dan  kalau alasan yang mengikat sudah tidak ada lagi.

Seandainya semua orang baik hati, anjuran ini pasti tidak baik. Tetapi karena manusia adalah makhluk yang jahanam yang tidak menepati janji, Anda tidak perlu menepati janji pula pada manusia lain. Dan seorang raja tidak akan pernah kehabisan alasan untuk menutupi ketidaksetiaannya, dengan menunjukkan  betapa banyak perjanjian dan persetujuan yang dilakukan oleh para raja ternyata kosong dan tidak bernilai karena raja tidak  memegang janji: mereka yang paling tahu meniru rubah adalah yang terbaik.

Tetapi orang harus mengetahui bagaimana menutupi tindakan-tindakannya dan menjadi pembohong dan penipu yang ulung. Manusia bersifat sederhana dan begitu banyak manusia di sekitarnya, sehingga penipu akan selalu menemukan seseorang yang siap untuk ditipunya.

                                                      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement