Sabtu 14 Apr 2018 08:46 WIB

Romi: Partai Islam tak Harus Koalisi dengan Partai Islam

Pola koalisi parpol di Indonesia sangat cair yang sudah ditunjukkan dalam sejarah.

Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy (kanan) didampingi Sekretaris Jenderal DPP PPP Arsul Sani (tengah) dan Ketua Dewan Syariah PPP Maimoen Zubair membuka Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama PPP di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (13/4).
Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy (kanan) didampingi Sekretaris Jenderal DPP PPP Arsul Sani (tengah) dan Ketua Dewan Syariah PPP Maimoen Zubair membuka Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama PPP di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (13/4).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy menyebutkan pola koalisi partai politik di Indonesia sangat cair yang sudah ditunjukkan dalam sejarah demokrasi republik ini. Karena itu, partai Islam tidak harus berkoalisi dengan partai Islam lain.

"Koalisi pengusungan calon menjadi sangat cair. Tidak mesti sesama partai Islam berkumpul mencalonkan calon dari partai Islam, partai nasionalis dengan partai nasionalis," katanya di Semarang, Jumat (13/4).

Hal itu diungkapkan Gus Romi, sapaan akrab Romahurmuziy, usai membuka Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang merupakan puncak peringatan Hari Lahir Ke-45 PPP di Hotel Patra Jasa, Semarang. Menurut dia, parpol di Indonesia terjalin pola kompetisi sekaligus "partnership", yakni bermitra dalam pengusungan di eksekutif, tetapi bersaing di pengusungan legislatif.

"Kecenderungan koalisi parpol tidak terjadi dalam satu segmen pemilih. Parpol justru berkumpul sesama parpol dengan alas konstutuensinya yang diametral, yakni 120 derajat berseberangan," katanya.

Sejarah demokrasi di Indonesia, kata dia, menunjukkan kecenderungan serupa ketika parpol satu sama lain berkumpul dengan segmen pemilih yang diametral, seperti PNI dan Nadhdlatul Ulama (NU). Koalisi diametral antarparpol, kata dia, terjadi sejak zaman Orde Lama, seperti yang terjalin antara PNI dan NU dengan segmentasi pemilih yang berbeda, kemudian Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan Masyumi.

"Kenapa PNI berkoalisi dengan NU, PSI dan Masyumi selalu berkoalisi? Karena segmennya tidak saling bersinggungan. Koalisi yang segmennya tidak saling bersinggung justru makin kuat, tidak saling mengganggu," katanya.

Itulah, kata Gus Romi, pola yang kemudian terbentuk hingga perpolitikan sekarang ini. Koalisi itu terjadi baik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan umum anggota badan legislatif, maupun Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI.

Menghadapi Pilpres 2019, kata dia, memperlihatkan tidak ada satu pun parpol yang mampu mengusung sendiri calon presiden dan wakil presiden sehingga meniscayakan parpol-parpol untuk berkoalisi. "Mau tidak mau harus berkoalisi. Tentunya, kami memilih berdasarkan petunjuk ulama, fatwa kiai, 'ushul fiqh'. Kalau tidak bisa mengusung capres, ya, cawapres, tidak dapat calon gubernur, ya, calon wakil gubernur," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement