REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama kementerian dan lembaga lain serta komunitas melawan berita bohong atau hoaks dengan data melalui portal agregator anti-hoaks. Agregator itu akan mengecek data dari kementerian ketika ada ‘serangan’ berita palsu.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo Rosarita Niken Widiastuti mengatakan cara kerja portal agregator tersebut adalah saat terdapat informasi negatif atau palsu, maka akan dilakukan pengecekan dengan data dari kementerian-lembaga terkait yang terserang berita palsu tersebut. "Begitu ada informasi kami cek dulu dengan data dan fakta benar atau tidak,” kata Niken di Gedung Kominfo, Jumat (13/4).
Kemudian setelah dicek, dia menerangkan, Kemenkominfo benar-benar mendalami, melakukan kroscek dengan data yang ada pada pemerintah. “Setelah betul-betul berita yang beredar itu palsu, itu akan kami cap hoaks," kata Rosarita Niken.
Kemenkominfo tidak semena-mena dalam memberikan cap hoaks pada berita. Apabila tidak terdapat data untuk pembanding, suatu berita tidak akan diberikan cap hoaks.
Ia menekankan pentingnya klarifikasi dan pengecekan kepada kementerian-lembaga terkait pemberitaan negatif atau palsu. "Biasanya kalau klarifikasi ini kami mengundang beberapa kementerian,” kata dia.
Dia mencontohkan informasi mengenai utang. Hoaks beredar utang Indonesia berada lebih dari 60 persen dari PDB. “Langsung kami cek dan klarifikasi mengundang Menkeu, gubernur BI, kepala BKPM duduk bersama untuk klarifikasi," ucap Niken.
Dia menambahkan dalam kasus tersebut, setelah diklarifikasi, diketahui fakta utang Indonesia sebesar 28 persen dari PDB. Selanjutnya data mengenai utang dapat disebarkan melalui media sosial.
Hal tersebut untuk memudahkan akses masyarakat dalam memastikan informasi hoaks sekaligus mendapatkan klarifikasi untuk mengetahui fakta sebenarnya.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 92 persen berita bohong disebarkan melalui media sosial dan penyebarannya cepat. Pola komunikasi masyarakat pun berubah, sebanyak 10 persen masyarakat aktif mengisi informasi di media sosial dan 90 persen lainnya dengan sukarela membagikan informasi yang didapatnya.