Kamis 12 Apr 2018 10:15 WIB
Kisah ILC TV One dan Rocky Gerung

Apakah Kitab Suci Itu Fiksi?

Peradaban hancur dan berdarah karena tak memberi ruang untuk berbeda pandangan.

Denny JA, konsultan politik/pendiri LSI
Foto:

Dalam sejarah Eropa dikenal istilah 'death by burning'. Hukum mati dengan cara pelaku disalip. Di bawah kakinya penuh tumpukan kayu untuk dibakar. Publik bahkan terbiasa menonton hukuman itu. Api dinyalakan. Sang pelaku menjerit terbakar hingga mati dan badannya hangus.

Jangankan menyatakan kitab suci itu hanya fiksi. Menyatakan sesuatu yang berbeda dengan keyakinan resmi gereja saja, yang komentarnya dianggap menyimpang, pelaku bisa dipanggang.

Sengaja pula hukuman  mati dengan dibakar itu dipertontonkan untuk menimbulkan efek jera. Bahkan ada pula yang meyakini. Walau fisik pelaku menderita, namun jika ia menjerit penuh penyesalan, panasnya api itu akan menyelamatkan jiwanya.

Mengapa di Eropa tradisi hukuman bagi beda opini soal agama akhirnya dihapuskan? Terbukti pandangan resmi otoritas keagamaan bisa juga salah.

Dulu itu gereja meyakini bumi adalah pusat semesta. Galileo melalui teleskop membuktikan ucapan Copernicus bahwa bumi hanya planet biasa yang justru mengelilingi matahari. Gereja meminta Galileo mencabut teorinya dan ia dikenakan tahanan rumah.

Waktu membuktikan Galileo benar dan pihak gereja yang merupakan pemangku agama tertinggi bisa salah.

Dulu itu menyempal soal agama bisa berujung pada kematian. Menjadi Katolik atau menjadi Protestan dengan seluruh keyakinannya terancam musnahnya satu keluarga. Tahun 1522-1700, selama hampir dua ratus tahun, terjadi konflik besar soal agama yang disebut 'The European Wars of Religions ' atau 'The Wars of the Reformation'.

Manusia menderita akibat tiada toleransi pada perbedaan. Peradaban rusak, hancur dan berdarah karena tak memberi ruang untuk berbeda pandangan secara damai.

Ratusan tahun kemudian, Eropa berubah. Sebuah opini yang dulu kala bisa membuat pelaku dibakar mati, kini dapat dinyatakan dengan senyum dan santai saja dalam acara live show televisi. Toh semua hanya opini. Tak ada paksaan kepada siapapun untuk meyakini opini itu.

Saya pribadi secara sadar di usia lima puluhan meyakini adanya wahyu. Namun pernah pula dalam pencarian diri, ketika belajar filsafat, saya meragukannya. Di usia lima puluhan, kadang dalam hening, hati saya berzikir: La Ilaha Illallah. Dan kadang air mata menetes syahdu.

Pernah pula saya lukiskan pengalaman batin dalam puisi. Kutipan puisi saya oleh teman dibuatkan kaos team puisi ketika berangkat ke Malaysia: “Tuhan, aku mencintaiMU dengan seluruh ketidak tahuanku. Namun kalbuku padaMU kalahkan segala.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement